Untuk meredam Pangeran Diponegoro, Sri Sultan Hamengkubuwono II dipulangkan oleh Belanda dan ditunjuk sebagai raja Kesultanan Yogyakarta untuk ketiga kalinya
Intisari-Online.com -Tidak banyak raja trah Mataram Islam yang seperti Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Mungkin di satu dari sedikit yang pernah tiga kali diangkat menjadi raja di kerajaannya dalam tiga waktu yang berbeda.
Pria bernama asliRaden Mas Sundoro ini adalah putra Sultan Hamengkubuwono I dengan permaisuri keduanya, Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten.
Masa kecilnya dilalui di pengungsian saat terjadi Perang Suksesi Jawa III.
Situasi tersebut kelak membentuk karakter yang keras pada diri Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Ketika tiba masa perjanjian Giyanti, dan berlanjut ke perpindahan keluarga besar HB I ke Keraton Yogyakarta, Sundoro pun mulai tinggal di keraon dengan status putra raja.
Statusnya dinaikkan menjadi Putra Mahkota saat Sundoro dikhitan pada 1758.
Sebelumnya HB I sejatinya sudah mengangkat putranya dari permaisuri pertama, GKR Kencoro, yang bernama Raden Mas Ento, sebagai putra mahkota.
Tapi sayang, dia meninggal dunia saat perjalanan pulang dari Borobudur.
Oleh karena itu, status putra mahkota kemudian disematkan kepada Sundoro.
Sejak masih muda, Sundoro punya keinginan untuk kembali menyatukan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Keinginan itu bahkan hampir terwujud setelah ada rencana dia dinikahkan dengan putri Pakubuwono III.
Tapi sayang, rencana itu gagal.
Puteri Pakubuwono III justru menikah dengan putera Adipati Mangkunegoro I.
Mataram Islam pun semakin susah disatukan kembali.
Selain itu, sejak masih muda, Sundoro sudah tidak menyukai VOC--dan kemudian Belanda dan Inggris.
Dengan status sebagai calon pewaris sah tersebut, RM Sundoro mulai melakukan perubahan dalam keraton sebagai upaya melindunginya dari ancaman VOC.
Dia juga berupaya menggagalkan pembangunan Benteng Rustenburg--sekarang jadi Benteng Vredeburg--yang diinisiasi oleh Komisaris Nicholas Hartingh sejak tahun 1765.
Caranya, dia mengerahkan pekerja dari keraton untuk membangun tembok baluwarti mengelilingi alun-alun utara dan selatan.
Tak lupa, untuk meningkatkan pertahanan, sebanyak 13 meriam ditempatkan di bagian depan keraton menghadap ke arah benteng Belanda tersebut.
Sikap anti Belanda ini semakin mewujud setelah dia dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono II pada 2 April 1792.
Dia menolak tegas permintaan wakil VOC yang menuntut disejajarkan posisi duduknya di setiap acara pertemuan dengan sultan.
Selain itu, tanpa melibatkan VOC, HB II menunjuk sendiri patihnya untuk menggantikan Danurejo I yang meninggal dunia pada Agustus 1799.
Terjadi banyak peristiwa penting pada periode awal abad ke-19.
Setelah VOC bangkrut, kekuasaan di Hindia Belanda dipegang langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Diutuslah Herman Wille Daendels ke Hindia Belanda sebagai Gubernur Jenderal, menggantikan posisi pimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Albertus Henricus Wiese.
Daendels membuat perubahan mendasar yang menjadikan seluruh kerajaan di bekas jajahan VOC sebagai bawahan dari Kerajaan Belanda.
Oleh karena itu, ia mengharuskan Raja Jawa tunduk kepada Raja Belanda.
Daendels juga mengeluarkan aturan bahwa hak pengelolaan hutan harus berada di bawah pemerintah kolonial.
HB IIdengan tegas menolak semua tatanan baru tersebut.
Daendels yang marah membawa sekitar3300 pasukan untuk menekan Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Akibat dari tekanan tersebut, Sultan HB II dipaksa turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya RM. Surojo sebagai HB III pada 31 Desember 1810.
Raja baru itu dipaksamenandatangani kontrak dengan Belanda dengan syarat-syarat yang memberatkan.
Namun perjanjian yang ditandatangani pada Januari 1811 ini tidak sempat dilaksanakan karena keburu Inggris datang dan memukul mundur Belanda.
Kesempatan ini dipergunakan oleh HB II untuk kembali mengambil tahtanya.
Dia juga mengembalikan status HB III sebagai putra mahkota dan mengeksekusi Patih Danurejo II yang didapati terbukti bersekongkol dengan Daendels.
Inggris juga harus menghadapi sikap keras HB II.
Di bawah pimpinan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserang oleh prajurit Sepoy alias Sepehi dari India pada tanggal 20 Juni 1812.
Akibat gempuran tersebut, keraton diduduki, harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dijarah, HB II ditangkap dan diasingkan ke Pulau Pinang hingga tahun 1815.
Setelah Inggris kembali menyerahkan kekuasaan kepada Belanda, HB II dibuang ke Ambon.
Sementara, selama kurun waktu tersebut berlangsung, di Yogyakarta sedang dilanda kondisi tidak menentu.
HB IIImeninggal dan digantikan oleh putranya sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono IV.
Tapi dia tak lama jadi raja karena meninggal dunia.
Takhta kemudian diberikan kepada putranya yang masih tiga tahu, bergeral Sri Sultan Hamengkubuwono V.
Ketika itulah terjadi Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Untuk mengendalikan situasi, Belanda kemudian memulangkan HB II dan diangkat lagi sebagai raja Kasultanan Yogyakarta.
Dia jadi raja untuk ketiga kalinya.
Pada periode kepemimpinannya yang ketiga ini, usia senja membuat kesehatan HB II menurun drastis.
Pada 3 Januari 1828 (15 Jumadilakir 1755), Sri Sultan Hamengku Buwono II mangkat karena sakit.
Dia dimakamkan di Kotagede karena pada saat itu sedang berkecamuk Perang Jawa sehingga tidak memungkinkan untuk diadakan prosesi hingga Makam Raja-Raja di Imogiri.