Ketika Pangeran Diponegoro Dan Kiai Mojo Bubar Jalan, Perang Jawa Pun Mudah Saja Dipadamkan

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Belanda lebih mudah memadamkan Perang Jawa telah Pangeran dan Kiai Mojo pecah kongsi. Kiai Mojo merasa, Diponegoro sudah melenceng dari cita-cita awalnya.
Belanda lebih mudah memadamkan Perang Jawa telah Pangeran dan Kiai Mojo pecah kongsi. Kiai Mojo merasa, Diponegoro sudah melenceng dari cita-cita awalnya.

Intisari-Online.com -Gabungan pasukan Pangeran Diponegoro dan pasukan Kiai Mojo benar-benar membuat Belanda keteteran.

Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan penyebut ini sebagai bergabungnya pasukan kestaria dan pasukan santri.

Tapi sayang, hubungan mesra itu pada akhirnya bubar jalan.

Dan itu, mau tak mau, memudahkan Belanda untuk memadamkan Perang Jawa.

Ada beberapa alasan kenapa keduanya, Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo, tak sejalan lagi.

Masing-masing punya pandangannya sendiri--sebagaimana dicatat dengan baik Carey--kenapa mereka pecah kongsi.

Pada 12 November 1828, Kiai Mojo menyerahkan diri kepada Belanda di lereng Gunung Merapi.

Dari situ Belanda tahu, pasukan Diponegoro dari kalangan keraton dan pasukan santri Kiai Mojo telah retak.

Dalam perundingan dengan Belanda, Mojo sempat mengeluarkan pernyataan:

"Usul pertama yang membuat saya rela berperang bahwa Diponegoro berjanji kepada saya untuk memulihkan agama kami.

Karena percaya hal ini, saya bergabung dengan dia sepenuh hati, tapi saya kemudian mengetahui hal ini bukan tujuannya yang sejati karena ia dengan tergesa mulai membentuk dan menata suatu keraton.

Saya menyampaikan beberapa pernyataan kepadanya yang ditanggapi dengan begitu keliru sehingga kami bertengkar sengit.

Sejak itu saya berselisih dengan Diponegoro, yang menyebabkan dia memerintahkan saya mengakhiri perang dengan cara apa pun."

Terkait keretakan itu, Diponegoro juga punya komentarnya tersendiri:

"Pembicaraan itu mengukuhkan apa yang sudah sering terdengar (oleh kami) diceritakan oleh beberapa orang Jawa.

Yaitu bahwa ketika Mojo direndahkan dalam pangkat dan martabat, segalanya menjadi kurang serasi di kalangan pemberontak karena ulama ini, yang ternyata sangat mendalam memahimi Alquran luar-kepala, dan berdasarkan aturan pasti dalam kitab suci itu, berhasil menggalang pengaruh dan wibaya di kalangan rakyat sedemikian rupa sehingga para ulama sudah sering naik haji pun terbukti berkemampuan lebih rendah daripada Mojo."

Kekecewaan Diponegoro ternyata tak hanya ditujukan kepada Mojo, tapi kepada dua sahabatnya yang sudah dia kenal sejak kecil.

Mereka adalah Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin, di mana keduanya memutuskan tak ikut Diponegoro ke pengasingan.

Kiai Pekih Ibrahim adalah penghulu Diponegoro, sementara Haji Badaruddin adalah bekas pemimpin resimen Suronatan.

Kiai Mojo sendiri kecewa terhadap Diponegoro karena perjuangannya sudah melenceng dari tujuan awal.

Seperti disinggung di awal, Mojo mau bergabung dengan Sang Pangeran karena semangat Perang Jawa adalah perang sabil.

Tapi di tengah perjalanan, Pangeran Diponegoro justru diangkat--atau mengangkat diri?--sebagai raja dengan gelar Sultan Abdul Hamid Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa.

Selain itu, tentu ada sebab-seba lainnya.

Salah satunya adalah perihal persaingan daerah.

Dicata Carey, kita tahu basis Pangeran Diponegoro adalah Mataram, sementara basis Kiai Mojo adalah Pajang (sekarang meliputi Boyolali dan wilayah Kotapraja Surakarta).

Di akhir 1926, pasukan Diponegoro mendapatkan serangkaian kemenangan.

Saat itulah Mojo mendesak Diponegoro untuk menyerang wilayah-wilayah yang belum ditaklukkan, seperti Kalitan dan Boyolali.

Tapi Diponegoro justru menyerang Surakarta, yang oleh Kiai Mojo dianggap sebagai wilayah di bawah pengaruhnya.

Dalam babadnya, Diponegoro berceritanya bahwa Mojo dengan takabur bilang bahwa pangeran-pangeran Surakarta dulu belajar di bawah asuhan ayahnya, Kiai baderan.

Tak hanya itu, masih dalam babad yang sama, Diponegoro juga menyebut Mojo telah merendahkannya dengan bilang bahwa Kasunanan Surakarta hanya memberi sedikit dukungan untuknya.

Akhirnya, Pangeran Diponegoro menyerang Surakarta dan hasilnya mereka kalah di Gawok.

Pasukan Diponegoro dari kalangan keraton dan santri saling tuding tentang penyebab kekalahan tersebut.

Kiai Mojo secara khsusu dituduh telah dengan nekat mendesak untuk menyerang Surakarta demi kepentingan mereka sendiri.

"Apa yang sebelumnya merupakan persaingan yang mengganggu saja sekarang menjadi perselisihan terbuka," tulis Carey terkait hubungan Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo.

"Sejak awal Mei 1826 ... sudah terdengan kabar bahwa Diponegoro tidak mau lagi bersama Kiai Mojo seusai bulan puasa."

Begitulah, kondisi yang memburuk itu membuat Belanda akhirnya dengan mudah memadamkan Perang Jawa.

Artikel Terkait