Ketika Kiai Mojo Tolak 50 Gulden Bantuan Pangeran Diponegoro Saat Di Pembuangan: Sorry, Uang Dari Belanda Masih Cukup

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Makam Kiai Mojo di Tondano, Minahasa. Kiai Mojo ternyata pernah tolak bantuan 50 gulden dari Pangeran Diponegoro saat di pengasingan. Rupanya dia masih dendam dengan sang pangeran.
Makam Kiai Mojo di Tondano, Minahasa. Kiai Mojo ternyata pernah tolak bantuan 50 gulden dari Pangeran Diponegoro saat di pengasingan. Rupanya dia masih dendam dengan sang pangeran.

Intisari-Online.com -Kekalahan pasukan Pangeran Diponegoro di Gawok pada 1826 menjadi puncak perselisihan Kiai Mojo dengan sang pangeran.

Karena kekalahan itu, dua kubu pasukan yang mendominasi tentara Perang Jawa, golongan kesatria dan santri, saling menyalahkan.

Pasukan kesatria, menurut Peter Carey, adalah pasukan Diponegoro yang berbasis Keraton Mataram.

Sementara pasukan santri adalah para pengikut Kiai Mojo.

Perselisihan antara keduanya sejatinya sudah terjadi sebelum pertempuran Gawok itu.

Ketika pasukannya mulai mendapatkan serangkaian kemenangan, Diponegoro bersikukuh ingin menyerang Surakarta.

Kiai Mojo tidak setuju.

Dia menyarankan putra Hamengkubuwono III itu untuk menyerang daerah lain.

Mojo mengusulkan Boyolali dan Kalitan.

Tapi Diponegoro bersikukuh menyerang Surakarta, yang oleh Kiai Mojo dianggap sebagai wilayah di bawah pengaruhnya.

Dalam babadnya, Diponegoro berceritanya bahwa Mojo dengan takabur bilang bahwa pangeran-pangeran Surakarta dulu belajar di bawah asuhan ayahnya, Kiai baderan.

Tak hanya itu, masih dalam babad yang sama, Diponegoro juga menyebut Mojo telah merendahkannya dengan bilang bahwa Kasunanan Surakarta hanya memberi sedikit dukungan untuknya.

Akhirnya, Pangeran Diponegoro menyerang Surakarta dan hasilnya mereka kalah di Gawok.

Pasukan Diponegoro dari kalangan keraton dan santri saling tuding tentang penyebab kekalahan tersebut.

Kiai Mojo secara khsusus dituduh telah dengan nekat mendesak untuk menyerang Surakarta demi kepentingan mereka sendiri.

"Apa yang sebelumnya merupakan persaingan yang mengganggu saja sekarang menjadi perselisihan terbuka," tulis Carey terkait hubungan Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo.

"Sejak awal Mei 1826 ... sudah terdengan kabar bahwa Diponegoro tidak mau lagi bersama Kiai Mojo seusai bulan puasa."

Begitulah, kondisi yang memburuk itu membuat Belanda akhirnya dengan mudah memadamkan Perang Jawa.

Perselisihan juga terjadi saat Kiai Mojo mengusulkan untuk membagi kekuasaan dengan Pangeran Diponegoro.

Mojo kira-kira bilang kepada Diponegoro begini:

"Kamu pilih ratu, wali, atau pandito?"

Tapi Diponegoro menolaknya dengan keras.

Terkait usulan itu, Diponegoro bilang bahwwa Mojo sejatinya mencoba menentang kekuasaannya sebagai sultan sekaligus pemimpin agama.

Mojo sendiri menginginkan dirinya mendapat posisi wali.

Singkat cerita, keduanya diasingkan oleh Belanda--Kiai Mojo tiba lebih dahulu di Minahasa.

Menurut catatan Peter carey, mengembalikan uang sebesar 50 gulden yang diberikan Diponegoro kepadanya.

Dengan tegas dia bilang, uang yang diberikan Belanda lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan pengikutnya.

Seperti Kiai Mojo masih menyimpan kepada Sang Pangeran.

Artikel Terkait