Intisari-Online.com – Rudy Hartono Kurniawan, juara dunia dan juara All England 8 kali (7 kali di antaranya berturut-turut), memang maestro dunia bulu tangkis. Kini sebagai salah satu pelatih tim Indonesia yang baru saja memenangkan kejuaraan All England 1991, Rudy bertutur bagaimana dia “dicetak” orang tuanya, serta beberapa soal khusus yang dia “buka kartu” kepada Jimmy S. Harianto. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1991 dengan judul Maestro Kita “Buka Kartu”.
--
Wartawan bule itu memberondong Rudy dengan pertanyaan, ketika Rudy akan menghadapi jago dunia dari Malaysia, Tan Aik Huang, di final All England 1968. Rudy kelahiran Surabaya, 18 Agustus 1945, yang ketika itu masih berumur 19 tahun dan belum bisa berbahasa Inggris, gelagapan juga.
"Saya sebenarnya tidak mengerti apa yang dia tanya. Tetapi kira-kira saja dia tanya, apakah kamu confident bisa jadi juara? Sungguh mati waktu itu saya tak mengerti apa itu artinya confident. Saya jawab saja: yes! Setelah itu, saya tanya pada pelatih, apa itu confident? Dia bilang, itu percaya diri ...," tutur Rudy.
Untung saja akhirnya Rudy benar-benar jadi juara. Tetapi, astaga! Setelah menjadi juara, ternyata "ujian" yang tidak menyenangkan itu datang lagi. Menjadi tradisi di All England, seorang juara harus berbicara di depan ketua Federasi Bulu Tangkis Internasional, di hadapan para pejabat Inggris, di hadapan publik bulu tangkis yang tentu saja umumnya bule-bule dalam bahasa Inggris.
"Sambutan, Oom Ferry Sonneville yang bikinkan," tutur Rudy jujur membuka kartu. Ferry Sonneville, waktu itu pemain senior yang fasih berbahasa Inggris.
"Sungguh kaku rasanya, harus berdiri dan kemudian duduk di top table, dengan di kiri dan kanan semuanya orang bule yang bicara dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Setelah saya jadi juara, saya mendapat beban baru: harus bisa berbahasa Inggris," katanya.
Belum lagi ia juga harus menghadapi kebiasaan-kebiasaan yang bukan budayanya sehari-hari, tidak seperti kebiasaan di rumah petak Jl. Kaliasin 49 Surabaya, tempat ayahnya, Zulkarnain Kurniawan, membuka usaha jahit-menjahit dan menyalurkan susu perah dari Wonokromo.
"Setiap mau menghadiri jamuan makan saya merasa ngeri menghadapi begitu banyak macam sendok. Ada sendok makan, sendok sop, sendok buah, sendok teh, belum lagi pisau roti dan pisau garpu. Kok semakin repot amat menjadi seorang juara?"
"Kejutan budaya" itu hanya salah satu saja dari sekian banyak hal yang membebani Rudy. Beban lain yang sangat berat adalah tunlutan untuk setiap kali menang dan menang lagi, baik itu dari dirinya sendiri, wartawan maupun publik bulu tangkis Indonesia ….
Seorang juara bulu tangkis ternyata tidak hanya melulu dituntut mempersiapkan diri dengan teknik-teknik bulu tangkis. Akan tetapi juga teknik-teknik berbasa-basi menghadapi kehidupan yang beragam. Perlu kekuatan mental untuk menghadapi keinginan orang banyak.
Dipaksa berlatih di aspal berbatu
Seorang juara, menurut Rudy Hartono, tidak hanya dilahirkan. la perlu juga dibesarkan lingkungannya, sehingga akhirnya menjadi juara.
"Coba lihat saja Liem Swie King, atau Ardy Wiranata, Susi Susanti. Orang tua mereka sangat berperan mengembangkan bakat juaranya. Sedikit sekali rasanya juara lahir tanpa bimbingan orang tua. Peran orang tua sangat besar untuk bisa melahirkan pemain-pemain kelas dunia. Siapa lagi yang bisa mendorong anak seusia itu kalau bukan orang tua "sendiri?" ungkapnya.
Rudy juga ingat, dirinya pun dibimbing orang tua untuk menemukan jalan menjadi pemain bulu tangkis. Ia ingat, setiap hari hams bangun tidur pukul 05.00 saat ayahnya, Zulkarnain Kurniawan, menyuruhnya latihan fisik, lari-lari, main tali di sepanjang Jl. Kaliasin (kini Jl. Raya Basuki Rahmat) Surabaya.
"Kesiangan sedikit, jalanan sudah ramai. Tak bisa lagi latihan. Saya setengahnya dipaksa latihan., Di sekolah saya sering mengantuk. Bukan hanya karena harus bangun pagi setiap hari, akan, tetapi juga karena otot-otot badan sudah lelah," kata sang maestro mengenai masa silamnya.
"Ayah saya sangat keras. Walau pagi harus berlatih, pelajaran tak boleh ketinggalan. Kalau ada angka merah di rapor, saya dihukum," kata Rudy pula.
Sarana latihan, pada awal-awal karier Rudy, juga sangat tidak memadai. Ia berlatih di jalanan, di lapangan terbuka. Persisnya di depan kantor PLN Surabaya. Dulu disebut Jl. Gemblongan. Rudy berlatih di atas aspal yang kasar dengan batu-batuan yang menonjol di sana-sini. Umur sembilan tahun, Rudy sudah mulai mengangkat tiang berat untuk memasang net, kemudian memakainya bermain tepak-tepok.
Karena latihannya di luar, kalau matahari sudah terlampau tinggi, panas pun kelewat menyengat. Maka latihan hanya bisa dilakukan sampai sekitar pukul 10.00.
Waktu ikut PB (Persatuan Bulu Tangkis) Oke, yang didirikan ayahnya pada tahun 1951, Rudy ikut latihan di sebuah gudang kereta api (depo). Tepatnya di PJKA Karangmenjangan. Cukup jauh, bersepeda dari rumahnya di Jl. Kaliasin. Sehabis pulang sekolah, makan, Rudy terus berangkat. Tidak ada waktu untuk beristirahat tidur siang. Sekitar pukul 14.00 "latihan" pun dimulai.
Mempertahankan gelar juara
Salah satu kenangan yang melekat di hatinya adalah saat ia gagal di sebuah pertandingan yunior di Surabaya. Ketika itu, tutur Rudy, ia masih berumur sekitar 12 tahun.
"Saya kalah di babak kedua lawan pemain yang akhirnya tampil sebagai juara," tuturnya, "pulang ke rumah sepertinya membawa beban yang tidak keruan, sampai tidak sadar air mata saya mengalir. Entah kenapa, saya tidak pernah mau kalah. Kalau kalah, rasanya sakit bukan main."
Tahun berikutnya ia tak mau kalah lagi di, kejuaraan yang dilangsungkan di lapangan terbuka tersebut. Akhirnya ia berhasil tampil sebagai juara, mengalahkan pemain yang menurut banyak orang sama berbakatnya seperti dia, Yusri. Yusri sendiri, tidak-pernah menjadi pemain nasional. Ia akhirnya menjadi seorang dokter.
"Setelah saya memenangkan kejuaraan tersebut, saya merasa seperti ada keharusan untuk mempertahankan apa yang saya capai," kata Rudy.
Awal langkahnya ke jenjang nasional terjadi pada usia 16 tahun, ketika ia tampil sebagai juara yunior nasional pada tahun 1965. Ia mengalahkan seorang. Pemain eks TC, Ting Oen Hie, dalam sebuah pertandingan perayaan 17 Agustus. Setelah kejuaraan tersebut, Rudy "dipanggil" masuk pelatnas.
Namun demikian, panggilan pelatnas waktu itu tidak seperti sekarang ini, harus melalui seleksi segala. Waktu itu, ia tahu dipanggil dari pemain senior klubnya, Mulyadi dan Indratno.
"Mungkin juga PBSI waktu itu memanggil saya, melalui telepon pada mereka," kata Rudy pula. Tetapi betapa kecewanya, ketika pemberitahuan ini disampaikan pada ayahnya, Zulkarnain Kurniawan, menolak meluluskan permintaan anaknya.
"Saya dianggap terlalu muda. Saya lalu nekat, saya memaksa-maksa. Akhirnya ada orang PBSI yang mendatangi saya, sampai akhirnya saya diizinkan memenuhi panggilan pelatnas."
Sekolah di Surabaya ia tinggalkan, ia minta izin untuk berlatih di Jakarta. Semenjak itu sekolahnya mulai tak teratur. Untung saja, waktu itu sekolah-sekolah ikut jadi kacau, karena adanya G-30-S/PKI.
Tahun 1969, Rudy lulus SMTA di Surabaya, meskipun selama pelatnas ia duduk di bangku SMTA Bulungan Jakarta.
- bersambung -