Intisari-Online.com - Pasangan ganda putra Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya Sukamuljo menegaskan bahwa Indonesia masih punya taring di perbulutangkisan dunia. Mereka baru saja mempersembahkan gelar juara All England 2017 setelah mengalahkan pasangan China, 21-19 dan 21-14. Catatan ini sekaligus meneruskan tradisi bagus Indonesia di ajang tahun ini.
Berbicara soal All England, tak lengkap rasanya jika tidak membincangkan Rudy Hartono. Bagaimanapun juga, ia adalah Raja All England dari Indonesia. Di lemari pialanya, tersimpan sebuah medai emas kejuaraan dunia 1980, medali emas Olimpiade, 4 medali emas Thomas Cup, dan 1 medali emas Asiang Games.
(Salut! Pasangan Ganda Putra Marcus/Kevin Persembahkan Gelar Juara All England 2017 untuk Indonesia)
Untuk All England sendiri, ia menjadi juara sebanyak 8 kali. Hebatnya, 7 di antara 8 juara itu diraihnya secara berturut-turut.
All England, 10 tahun selalu masuk final
Mengenal bulutangkis sejak 8 tahun, Rudy kecil bukan anak yang berlebih fasilitas. Ayahnya, Zulkarnain Kurniawan, yang pertama kali menggemblengnya lewat sebuah perintah: setiap hari Rudy harus bangun pukul 05.00 untuk lari pagi. Setiap hari, kecuali Minggu, jarak lima kilometer ditempuh dengan lari-lari kecil.
Sepuluh tahun rutinitas itu berjalan, bukan hanya fisik Rudy yang terlatih, tapi juga kedisiplinan.
Awalnya Rudy hanya berlatih bulutangkis setiap hari Minggu, di sebuah pelataran aspal di depan Gedung PLN di Jalan Gemblongan, Surabaya. Ayahnya yang hobi bermain bulutangkis dan sempat menjadi pemain lokal, berkeinginan besar menjadikan anaknya juara.
Sedikit berbeda dengan ibunya Rudy yang sebenarnya lebih menginginkan anaknya ketiganya itu menjadi dokter.
Dalam buku Rajawali Dengan Jurus Padi (1986), terungkap bawha berkat bakatnya yang luar biasa, jalan Rudy seperti sudah “dipersiapkan”. Belum sempat menjajal pertandingan di tingkat senior nasional, usia 16 tahun ia sudah masuk ke Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) menjelang pembentukan tim Thomas Cup 1967.
Teknik permainannya semakin berkembang di Pelatnas karena ia bisa berlatih bersama pemain senior sekaliber Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, atau Mulyadi. Di sana ia fokus pada satu tujua: All England 1968.
“Saya fokus pada satu turnamen tingkat dunia yang bakal dikenang,” tuturnya.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR