Intisari-Online.com -Keberhasilan tim bulutangkis Indonesia dalam kejuaraan dunia di Guangzhou, Cina, kemarin, seakan kembali menorehkan asa bagi perbulutangkisan kita. Hal ini mengingatkan kita akan masa-masa kejayaan tim bulutangkis Indonesia di arena turnamen internasional, seperti yang pernah diulas dalam Intisari tahun 1967 berikut ini.
Setiap kali sedang menghadapi saatnya piala dunia bulutangkis, Thomas Cup, harus dipertahankan rata-rata kita diliputi rasa kebimbangan, keraguan akan kemampuan pemain-pemain kita, siapapun kelak akan turun ke gelanggang babak challenge round.
Setiap kali sebenarnya keadaaan hampir serupa, namun setiap kali pula terutama masyarakat luas, yang pada umumnya memang sudah keranjingan Thomas Cup, kurang menaruh kepercayaan penuh atas keampuhan regu kita kelak. Kali ini juga, hampir tiga bulan menjelang saat-saat pemain-pemain kita harus menghadapi penantang-penantangnya. Sekalipun sudah tiga masa kita telah memiliki piala dunia itu, tiga kali sudah kita telah menyatakan Indonesia negara bulutangkis terkuat di dunia.
Namun, kesangsian dan keragu-raguan itu memang beralasan. Setiap kali ada berbagai faktor yang menyebabkan adanya perasaan keragu-raguan itu. Kalau kali ini pengalaman dalam pertandingan internasional yang dirasakan masih sangat kurang pada lain kesempatan keadaam perbulutangkisan sendirilah yang menyebabkan kita diliputi perasaaa cemas dan sangsi.
Betapa kecil dirasakan diri kita ketika menuju gelanggang perebutan Thomas Cup di Singapura untuk pertama kalinya pada tahun 1958. Sekalipun kualifikasi zona, yakni zona Australia, telah dilalui secara mutlak. Waktu itu mereka pada dua kali pertandingan menang dengan 9-0 kedua kalinya. Betapa rendahpun si pendatang baru ini dalam kontes Thomas Cup dipandang oleh negara-negara saingan kita, bahkan oleh para peninjau bulutangkis di Singapura sekalipun. Hanya Ferry Sonnevillelah, yang dianggap sebagai the dangerous man, karena kemenangannya terhadap Woog Peng Soon pada tahun 1955 dan pengalaman-pengalamannya selama dua tahun di Eropa yang cukup mengesankan.
Di negeri sendiripun penghargaan dari pihak "kalangan atas" terhadap kesanggupan regu Thomas Cup Indonesia agak mengecewakan. Tetapi, untunglah pada waktu itu juga masyarakat luas menaruh harapan besar kepada pemain-pemainnya yang untuk pertama kalinya terjun ke gelanggang perebutan piala dunia bulutangkis.
Betapa spontan sambutan dari pihak rakyat Indonesia yang menjalakannya dengan sumbangan-sumbangannya melalui majalah Star Weekly pada waktu itu, sehingga meringankan usaha PBSI dalam pembiayaan regunya, yang juga termasuk pemulangan pemain utamanya Ferry Sonaeville, dari Eropa.
Setelah Piala Thomas berhasil diboyong pulang dari Singapura antusiasme kita di tanah air mulai meluap-luap. Sambutan rakyat kepada para pahlawannya hebat, dan yang sangat menggembirakan pada waktu itu ialah kegemaran terhadap olahraga bulutangkis yang sudah luas makin meningkat. Namun ketika saat-saat keharusan mempertahankan Piala Thomas kian mendekat, kemampuan kita untuk mewujudkan cita-cita dalam usaha menemukan talenta-talenta baru dirasakan kurang.
Sampai pada tahun 1961 kembali kita harus mempertaruhkan tenaga-tenaga 1958 kita. Maka suram juga dirasakan peluang kita untuk dapat mempertahankan Thomas Cup di bumi Indonesia. Namun, kita berhasil lagi! Penantang Thailand kita singkirkan. Menjelang challenge round 1964 keadaan nampak gelap. Persediaan pemain sangat berkurang. Piala Thomas harus dipertahankan di suatu negara asing, di Jepang, di mana pemain-pemain Denmark akan memperoleh keuntungan iklim. Keadaan politik negara pada waktu itu, yang menjadikan olehraga salah satu alat perjuangan , memberikan tekanan-tekanan moral pada batin yang di luar beban pemain-pemain kita.
Benar-benar di luar dugaan semula kita berhasil mengalahkan kembali perlawanan Denmark saat itu. Kita berhasil mempertahankan Piala Thomas, setelah perjuangan yang berat dari pemain-pemain kita.(Bersambung)