Pesan saya cuma satu: belanja adalah sesuatu yang mungkin akan selalu Anda lakukan. Namun, apa yang Anda belanjakan itulah yang akan menentukan apakah gaji Anda akan habis begitu saja atau tidak.
Rugi investasi, wajar!
Memang ada orang yang gajinya habis hanya untuk belanja?
Ada, bahkan banyak yang belanja di atas gaji yang diterima. Boleh percaya boleh tidak, dari 10 orang yang saya tanya berapa persen gaji yang digunakan untuk berbelanja, 8 dari 10 orang mengatakan: 110%. Artinya, dari sejumlah orang berpenghasilan sebesar – katakan Rp 1 juta - 80%-nya membelanjakan Rp 1,1 juta.
Apa ini artinya? Tabungan Anda akan berkurang! Pertanyaannya sekarang, apa yang harus Anda lakukan? Ya, menabung. Apalagi? Lalu tabungan itu perlu “diputar” agar bisa memberi hasil yang lebih besar. Apakah itu ke reksadana, beli emas, atau masuk ke deposito. Ini disebut tindakan berinvestasi.
Menariknya, tidak semua orang paham bila diminta bicara tentang investasi. Banyak orang hanya mengerti bahwa investasi hanya terbatas pada produk-produk perbankan seperti deposito. Kalaupun tahu alternatif investasi, banyak yang takut mencoba. Kalau Anda takut mencoba, ketika bunga deposito tidak setinggi sekarang, bisa-bisa Anda pusing dalam mencari cara bagaimana mengembangkan uang Anda.
Omong-omong, seberapa besar Anda harus menyisihkan uang dari penghasilan Anda untuk diinvestasikan? Kadang-kadang Anda defisit kok mau menyisihkan uang? Oke, kalau selama ini selalu menunggu uang bersisa terlebih dahulu sebelum Anda menabung, kenapa sekarang tidak dibalik saja? Dengan demikian, enggak ada lagi alasan untuk tidak menabung.
Bagi yang takut, hal itu sebenarnya wajar. Yang mereka takutkan biasanya soal kerugian. Akan tetapi, itulah ongkos belajar. Dalam berinvestasi, Anda tidak selalu untung. Kadang Anda mengalami kerugian. Bisa saya ibaratkan, belajar berinvestasi itu seperti belajar berenang.
Maksud saya, ketika belajar berenang, Anda tidak cukup hanya belajar dari teori. Anda tidak bisa membeli buku tentang belajar berenang, membacanya semalaman, membayang-bayangkan, dan ketika masuk ke dalam air, Anda bisa langsung berenang. Tidak bisa seperti itu. Belajar berenang harus dilakukan sambil langsung mempraktikkannya di dalam air. Yang menarik, untuk bisa mahir berenang, Anda akan melalui proses tenggelam berkali-kali. Selain itu, mata Anda akan sering kemasukan air sehingga memerah dan pedih.
Tenggelam serta mata merah dan pedih itulah proses yang harus Anda lalui. Cuma, cobalah untuk meminimalkan semua risiko itu. Ketika belajar berenang, jangan langsung masuk ke kolam yang dalam, pilihlah kolam dangkal terlebih dahulu. Selain itu, pakai juga pelampung. Jangan lupa memakai kacamata renang.
Begitulah kalau ingin masuk ke sebuah produk investasi yang belum pernah Anda masuki. Cobalah untuk tidak berinvestasi dalam jumlah banyak terlebih dahulu. Sedikit saja dulu. Jadi, ketika rugi, kerugian itu bisa ditekan. Selain itu, cobalah pelajari dulu produk itu sebelum Anda masuk, walaupun jangan lupa bahwa beberapa produk ada yang memang harus dimasuki dulu sebelum bisa betul-betul dipahami.
Pahami pula, bila terus-menerus takut berinvestasi, Anda membiarkan diri pada kerepotan mencari uang terus-menerus. Dengan berinvestasi, tidak hanya Anda yang bekerja cari uang, tapi uang Anda juga melakukan hal yang sama untuk Anda. Jadi, kalau dulu sendiri, sekarang Anda dan uang Anda sama-sama bekerja untuk mendapatkan cash flow. Kata orang, bekerja secara tim lebih baik daripada bekerja sendiri. Nah, Anda dan uang Anda adalah tim, dan Andalah yang menjadi pemimpin tim itu.
Jadi kepala, jangan ekor
Jika investasi kurang Anda anggap menantang, cobalah berwirausaha. Ada fenomena menarik selama lima tahun belakangan ini yang saya tangkap soal wirausaha ini. Yaitu bahwa orang mulai memberikan penghargaan yang lebih tinggi pada kewirausahaan.
Dulu, ketika saya masih sekolah, banyak orang yang memandang wirausaha sebagai sebuah pekerjaan alternatif atau pekerjaan yang dilakukan karena terpaksa, seperti untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Atau pekerjaan yang harus dilakukan karena seseorang belum mendapat kabar baik dari perusahaan lain yang mau menerimanya bekerja sebagai karyawan. Malah banyak orangtua yang jauh lebih senang mendapatkan menantu seorang karyawan bergaji terbatas daripada menantu yang bekerja sebagai wirausahawan tetapi memiliki penghasilan yang dianggap tidak tetap sehingga dianggap lebih berisiko.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR