Intisari-Online.com -Sekitar empat tahun lalu, ketika sedang berjalan-jalan di sebuah mal di Jakarta, asyik melihat-lihat toko-toko yang ada, saya seperti tersadar pada sesuatu. Mal – di mana pun itu – tak lain tak bukan seperti sebuah pasar. Tempat bertemunya penjual dan pembeli! Seketika saya sadar, ke mana pun saya pergi, orang-orang di sekitar kita sebetulnya penjual, yang sedang berusaha memindahkan uang dari dompet kita ke dompet mereka.
Masalahnya, kita tidak sadar bahwa dalam sehari kita sering melakukan transaksi pemindahan uang dari dompet kita ke dompet orang lain dengan sangat cepat. Betul, beberapa dari transaksi itu memang betul kita butuhkan. Seperti membeli sembako, membayar uang parkir, membayar uang sekolah, sampai membayar listrik dan telepon. Akan tetapi yang menarik, sering beberapa transaksi yang kita lakukan tidak selalu untuk mendapatkan barang yang kita butuhkan. Misalnya, membeli ponsel terbaru yang kecanggihannya terlalu maju untuk zamannya sehingga banyak fitur-fitur di dalamnya tidak berguna padahal itu membikin ponsel bertambah mahal.
Padahal, dalam pembelanjaan kita harus membedakan kebutuhan dan keinginan. Sebenarnya mudah mengetahui perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan itu sesuatu yang harus dipenuhi, sedangkan keinginan tidak; Kebutuhan tidak selalu Anda inginkan, sementara keinginan tidak selalu Anda butuhkan; Kebutuhan umumnya ada batasnya, sementara keinginan umumnya tidak ada batasnya. Namun, justru keinginanlah yang sering membuat gaji seseorang ludes. Hemat tapi jangan pelit
Mungkin Anda kemudian bertanya: bagian mana dari pengeluaran kita yang sebetulnya merupakan kebutuhan, dan bagian mana dari pengeluaran kita yang merupakan keinginan?
Kalau Anda coba merinci pos-pos pengeluaran setiap bulannya, saya berani mengatakan bahwa setiap orang umumnya memiliki pos pengeluaran yang cukup banyak: sekitar 20 - 30 pos pengeluaran. Yang mana kebutuhan dan yang mana keinginan?
Saran saya, cobalah kelompokkan semua pos pengeluaran Anda menjadi empat bagian: (1) pos pengeluaran yang berkaitan dengan biaya hidup; (2) pos pengeluaran yang berkaitan dengan pembayaran cicilan utang; (3) pos pengeluaran yang berkaitan dengan premi asuransi; (4) pos-pengeluaran yang berkaitan dengan setoran tabungan.
Dari keempat kelompok pengeluaran itulah Anda harus melakukan skala prioritas. Saran saya, prioritaskan pembayaran cicilan utang terlebih dahulu. Kemudian disusul setoran tabungan rutin. Lalu ketiga adalah premi asuransi. Terakhir biaya hidup. Ini adalah pengetahuan dasar tentang pembelanjaan yang harus dimiliki sebelum Anda mempelajari hal lain tentang pembelanjaan.
Selain itu, hal lain yang harus diketahui juga adalah dengan mencoba mengetahui bagaimana cara bijak dalam mengeluarkan uang untuk setiap pos pengeluaran. Sebagai contoh, salah satu pos pengeluaran Anda yaitu membayar biaya telepon. Adalah bijak, misalnya, mengurangi frekuensi bicara Anda lewat telepon ke hal-hal yang memang lebih diperlukan, mengurangi frekuensi pemakaian internet, sampai pada mengatur pemakaian telepon oleh anak-anak Anda.
Itu baru telepon. Pos lain adalah listrik. Coba pelajari bagaimana Anda bisa lebih hemat dalam membayar biaya listrik. Apakah perlu menggunakan bola lampu yang lebih hemat, apakah dengan mengurangi pemakaian listrik secara bersamaan di malam hari? Hal-hal semacam inilah yang seyogianya dikuasai sehingga Anda tahu bagaimana mengeluarkan uang secara bijak untuk setiap pos tersebut.
Cuma mesti diingat, bijak yang berkorelasi dengan hemat ini jangan sampai membuat Anda pelit. Harus dibedakan antara hemat yang pelit, dengan hemat yang kreatif. Hemat pelit misalnya hemat yang dilakukan dengan cara memaksa, enggak masuk akal. Sebagai contoh, seseorang tinggal sekitar 10 km dari rumah ke kantornya. Hanya karena ingin hemat, dia berjalan kaki. Padahal dia punya uang untuk membayar ongkos transportasi umum. Cuma mungkin bukan alat transportasi pribadi seperti taksi, tapi bus atau mikrolet, misalnya. Jadi, pengertian hemat harus diluruskan: hemat bukan berarti pelit, tapi kreatif.
Selain berhemat, berhati-hatilah terhadap tawaran diskon. Banyak toko yang berteriak memberikan diskon hingga 50%, 70%, bahkan 90%. Ingat, kalau sebuah toko melakukan obral diskon hingga katakan 70%, ini berarti dari 10 barang yang mereka diskon, mungkin hanya satu dua jenis barang yang diskonnya 70%. Yang lainnya bervariasai bahkan mungkin cuma 10%.
Berhubung Anda sudah terlanjur berada di dalam toko dan tidak enak kalau keluar tanpa menenteng barang sama sekali, maka sering pembelanjaan itu tetap dilakukan juga walaupun dengan diskon yang cuma 10%. Parahnya lagi, barang itu bukan barang yang Anda butuhkan. Kedengarannya Anda banget, ya?
Pesan saya cuma satu: belanja adalah sesuatu yang mungkin akan selalu Anda lakukan. Namun, apa yang Anda belanjakan itulah yang akan menentukan apakah gaji Anda akan habis begitu saja atau tidak. Rugi investasi, wajar!
Memang ada orang yang gajinya habis hanya untuk belanja?
Ada, bahkan banyak yang belanja di atas gaji yang diterima. Boleh percaya boleh tidak, dari 10 orang yang saya tanya berapa persen gaji yang digunakan untuk berbelanja, 8 dari 10 orang mengatakan: 110%. Artinya, dari sejumlah orang berpenghasilan sebesar – katakan Rp 1 juta - 80%-nya membelanjakan Rp 1,1 juta.
Apa ini artinya? Tabungan Anda akan berkurang! Pertanyaannya sekarang, apa yang harus Anda lakukan? Ya, menabung. Apalagi? Lalu tabungan itu perlu “diputar” agar bisa memberi hasil yang lebih besar. Apakah itu ke reksadana, beli emas, atau masuk ke deposito. Ini disebut tindakan berinvestasi. Menariknya, tidak semua orang paham bila diminta bicara tentang investasi. Banyak orang hanya mengerti bahwa investasi hanya terbatas pada produk-produk perbankan seperti deposito. Kalaupun tahu alternatif investasi, banyak yang takut mencoba. Kalau Anda takut mencoba, ketika bunga deposito tidak setinggi sekarang, bisa-bisa Anda pusing dalam mencari cara bagaimana mengembangkan uang Anda.
Omong-omong, seberapa besar Anda harus menyisihkan uang dari penghasilan Anda untuk diinvestasikan? Kadang-kadang Anda defisit kok mau menyisihkan uang? Oke, kalau selama ini selalu menunggu uang bersisa terlebih dahulu sebelum Anda menabung, kenapa sekarang tidak dibalik saja? Dengan demikian, enggak ada lagi alasan untuk tidak menabung.
Bagi yang takut, hal itu sebenarnya wajar. Yang mereka takutkan biasanya soal kerugian. Akan tetapi, itulah ongkos belajar. Dalam berinvestasi, Anda tidak selalu untung. Kadang Anda mengalami kerugian. Bisa saya ibaratkan, belajar berinvestasi itu seperti belajar berenang.
Maksud saya, ketika belajar berenang, Anda tidak cukup hanya belajar dari teori. Anda tidak bisa membeli buku tentang belajar berenang, membacanya semalaman, membayang-bayangkan, dan ketika masuk ke dalam air, Anda bisa langsung berenang. Tidak bisa seperti itu. Belajar berenang harus dilakukan sambil langsung mempraktikkannya di dalam air. Yang menarik, untuk bisa mahir berenang, Anda akan melalui proses tenggelam berkali-kali. Selain itu, mata Anda akan sering kemasukan air sehingga memerah dan pedih.
Tenggelam serta mata merah dan pedih itulah proses yang harus Anda lalui. Cuma, cobalah untuk meminimalkan semua risiko itu. Ketika belajar berenang, jangan langsung masuk ke kolam yang dalam, pilihlah kolam dangkal terlebih dahulu. Selain itu, pakai juga pelampung. Jangan lupa memakai kacamata renang.
Begitulah kalau ingin masuk ke sebuah produk investasi yang belum pernah Anda masuki. Cobalah untuk tidak berinvestasi dalam jumlah banyak terlebih dahulu. Sedikit saja dulu. Jadi, ketika rugi, kerugian itu bisa ditekan. Selain itu, cobalah pelajari dulu produk itu sebelum Anda masuk, walaupun jangan lupa bahwa beberapa produk ada yang memang harus dimasuki dulu sebelum bisa betul-betul dipahami.
Pahami pula, bila terus-menerus takut berinvestasi, Anda membiarkan diri pada kerepotan mencari uang terus-menerus. Dengan berinvestasi, tidak hanya Anda yang bekerja cari uang, tapi uang Anda juga melakukan hal yang sama untuk Anda. Jadi, kalau dulu sendiri, sekarang Anda dan uang Anda sama-sama bekerja untuk mendapatkan cash flow. Kata orang, bekerja secara tim lebih baik daripada bekerja sendiri. Nah, Anda dan uang Anda adalah tim, dan Andalah yang menjadi pemimpin tim itu. Jadi kepala, jangan ekor
Jika investasi kurang Anda anggap menantang, cobalah berwirausaha. Ada fenomena menarik selama lima tahun belakangan ini yang saya tangkap soal wirausaha ini. Yaitu bahwa orang mulai memberikan penghargaan yang lebih tinggi pada kewirausahaan.
Dulu, ketika saya masih sekolah, banyak orang yang memandang wirausaha sebagai sebuah pekerjaan alternatif atau pekerjaan yang dilakukan karena terpaksa, seperti untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Atau pekerjaan yang harus dilakukan karena seseorang belum mendapat kabar baik dari perusahaan lain yang mau menerimanya bekerja sebagai karyawan. Malah banyak orangtua yang jauh lebih senang mendapatkan menantu seorang karyawan bergaji terbatas daripada menantu yang bekerja sebagai wirausahawan tetapi memiliki penghasilan yang dianggap tidak tetap sehingga dianggap lebih berisiko.
Namun, itu dulu.
Sekarang lain cerita. Banyak orang sudah mulai memuji mereka yang melakukan wirausaha. Mereka dianggap lebih tangguh karena berani mengambil risiko dan dianggap bisa belajar banyak tentang dunia usaha. Kewirausahaan pun tidak lagi menjadi mata kuliah "basa-basi" pada Fakultas Ekonomi, tetapi sudah merembet ke kursus-kursus, seminar-seminar, bahkan ada yang sampai membuat universitasnya segala.
Lalu, so what getu loh!
Mau tidak mau, membuka usaha sendiri pasti akan Anda lakukan juga, cepat atau lambat. Motivasinya macam-macam. Bisa karena butuh penghasilan tambahan, bisa karena Anda merasa tertantang, bisa juga karena Anda merasa, tak ada satu pun orang di dunia ini yang bisa menjalankan usaha itu kecuali Anda.
Apa pun motivasi Anda, pertama-tama pelajari dulu bidang usaha apa yang ingin Anda terjuni. Untuk mendapatkan ilham, coba sering-sering membuka majalah atau tabloid ekonomi. Ada banyak sekali tulisan yang membahas tentang bidang-bidang usaha yang bisa Anda jalani, mulai dari usaha makanan dan minuman, sembako, sampai peternakan, perikanan, hingga agrobisnis.
Berkaitan dengan bidang usaha, saya sering ditanya, “Pak Safir, menurut Anda, bidang usaha apa sih yang bagus dan menguntungkan sekarang ini?” Saya selalu menjawab, “Bidang usaha apa yang Anda pilih, tidak selalu menjamin bahwa Anda pasti akan berhasil. Ini karena keberhasilan sebuah usaha sering tergantung pada banyak faktor, dan tidak selalu pada pemilihan bidang usahanya.” Bukan satu dua kali saya mendengar orang mengatakan,
“Kalau mau buka usaha, buka usaha bidang makanan aja. Untungnya gede lo, bisa 100%. Dan lagi, semua orang kan butuh makan, jadi pasti usaha makanan akan laku.” Terhadap ucapan seperti ini, saya cuma bisa manggut-manggut, sambil mengatakan,
“Betul, usaha makanan untungnya memang bisa 100%. Dengan catatan, kalau ada yang beli.” Yang jelas, usaha makanan akan tetap terus ada. Ada dua tipe orang yang membuka usaha. Pertama, orang yang menunggu datangnya kebutuhan. Sebagai contoh, di Jln. Cihampelas Bandung dulu banyak orang yang tertarik membuka usaha jual beli jins karena melihat kebutuhannya sudah ada. Tipe seperti ini biasanya tidak tertarik membuka usaha jual jins kalau dia tidak melihat apakah sudah ada toko lain yang menjual jins atau belum. Inilah wirausahawan kategori me too product, hanya saja dengan nama yang sedikit berbeda dan harga yang biasanya lebih murah.
Tipe kedua, orang yang membuka usaha dengan cara menciptakan kebutuhan karena dia melihat kebutuhannya belum ada, atau kalau sudah ada tetapi belum dirasa butuh. Misalnya, kesuksesan salah satu merek air mineral pertama di Indonesia. Padahal, dulu air mineral itu dijual lebih mahal daripada bensin. Berhubung si pengusaha air minum itu mau menciptakan kebutuhannya (melalui iklan maupun isu-isu di media massa), maka air mineral itu laris manis dan akhirnya dibuntuti oleh para pengekor.
Sayangnya, kebanyakan orang kita masih berada pada tipe karakter yang pertama. Saran saya, kalau mau jadi wirausahawan, jadilah wirausaha yang berani menciptakan kebutuhan walaupun Anda melihat kebutuhannya belum ada, atau kalaupun kebutuhannya ada tetapi orang belum merasakannya. Bangkitkanlah kebutuhannya. Bila mampu menjadi tipe wirausaha seperti ini, maka – boleh dibilang – Anda sudah menjadi wirausahawan sejati!
Selamat berinvestasi, selamat berwirausaha, selamat mencapai kesehatan keuangan yang prima. (Safir Senduk, perencana keuangan dari Biro Perencanaan Keuangan Safir Senduk dan Rekan)