Pilihan PTD mampir ke Laksa Lao Hoe sebenarnya bukan hanya karena makanannya yang enak. Namun juga karena rumah makan ini menempati bangunan lama awal abad ke-20 yang masih dipertahankan kelestariannya.
Meski bangunannya tidak terlalu besar (maksimal hanya bisa menampung sekitar 25 orang) namun pemilik rumah makan tetap mempertahankan beberapa ciri khas seperti kusen, teralis, pintu, dan ornamen-ornamen khas rumah Betawi tempo dulu.
Selesai menikmati sepiring laksa, perjalanan dilanjutkan menuju Kelenteng Toasebio di Jalan Kemenangan III atau dulu dikenal sebagai Jalan Toasebio.
Klenteng yang kini bernama Vihara Dharma Jaya ini merupakan salah satu klenteng tertua di Glodok. Kabarnya bangunannya sempat ikut terbakar dalam peristiwa Geger Pacinan, hingga akhirnya direnovasi dan selesai pada tahun 1751.
Lanjut penelusuran siang itu, peserta juga menyambangi Gereja Katolik Maria de Fatima yang jaraknya tak sampai 100 meter dari klenteng.
Gereja ini terasa menarik dikunjungi karena bangunannya masih berlanggam arsitektur gaya Fujian. Atapnya masih berbentuk ekor burung walet dengan beberapa ornamen khas budaya Tionghoa mewarnai gereja.
Bangunan ini awalnya adalah rumah Kapitan Tionghoa bermarga Tjioe yang ada pada awal abad 20. Pada tahun 1950, rumah dibeli oleh misionaris Katolik dan dijadikan gereja untuk melayani umat dari keturunan Tionghoa. Saat ini di kompleks gereja juga berdiri sekolah dan asrama dari misi para biarawan Jesuit.
Bangunan termegah di Batavia
Tak berlama-lama, peserta kemudian bergerak lagi menuju Klenteng Kim Tek Ie atau dikenal juga sebagai Vihara Dharma Bhakti.
Klenteng ini juga dikenal sebagai klenteng tertua di Jakarta, karena sudah berdiri sejak tahun 1650 dengan nama Kwan Im Teng. “Dari nama Kwan Im Teng inilah akhirnya muncul penyebutan kata ‘klenteng’ karena pengucapan warga setempat,” tutur Ade Purnama.
Di kompleks klenteng ini pula, Ade Purnama mempresentasikan perihal keberadaan Observatorium Mohr. Ini adalah observatorium tertua di Indonesia, jauh sebelum adanya Observatorium Boscha di Bandung.
Penulis | : | Tjahjo Widyasmoro |
Editor | : | Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR