Menelusuri Kawasan Pecinan Sambil Menikmati Kudapan

Tjahjo Widyasmoro

Editor

Dalam acara Plesiran Tempo Doele, Minggu (3/3), Ade Purnama dari Sahabat Museum menunjukkan foto klenteng Kim Tek Ie di masa lalu.
Dalam acara Plesiran Tempo Doele, Minggu (3/3), Ade Purnama dari Sahabat Museum menunjukkan foto klenteng Kim Tek Ie di masa lalu.

Intisari-Online.com - Komunitas Sahabat Museum dan Intisari kembali bekerja sama menggelar acara Plesiran Tempo Doeloe (PTD) pada Minggu (3/3/2024). Acara PTD yang bertema “Santapan Ledzat di Petjinan” ini mencoba mengeksplorasi kawasan Glodok Pancoran di Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.

Lewat PTD kali ini, 19 orang peserta diajak oleh Sahabat Museum untuk mengenal lebih dekat kawasan Pecinan yang sudah ada sejak abad ke-17 ini sambil menikmati sajian kuliner khas setempat.

Perjalanan bermula dari Jalan Kali Besar di kawasan Kota Tua, tepatnya di depan Toko Merah. Di sinilah peserta diberi latar belakang sejarah kawasan Glodok yang tidak bisa lepas dari peristiwa Geger Pacinan atau pembantaian warga keturunan Tionghoa oleh VOC pada 9 Oktober 1940.

Saat terjadi peristiwa memilukan itu, Glodok jadi salah satu saksi bisu pembantaian sekitar 10.000 etnis Tionghoa oleh VOC. Kawasan ini dan juga sekitarnya sebagian terbakar karena bentrokan antara pasukan VOC dengan orang-orang Tionghoa.

Usai peristiwa itu, VOC mencoba melokalisir warga Tionghoa dengan menempatkan mereka di sekitar kawasan Glodok.

“Tujuan sebenarnya adalah agar bisa mengontrol warga Tionghoa yang dianggap pernah memberontak,” terang Nadia Purwestri dari Pusat Dokumentasi Arsitektur yang menjadi narasumber dalam PTD kali ini.

Sepanjang perjalanan menuju Glodok dengan menelusuri Jalan Pintu Kecil, para peserta selalu diberikan foto dan gambar-gambar dari abad ke-18 sampai abad 20.

Kehadiran foto dan gambar dari berbagai sumber itu memang menjadi salah satu keistimewaan perjalanan bersama Sahabat Museum. Dengan media foto ditambah narasi narasumber, peserta bisa membandingkan perubahan yang terjadi selama beberapa tahun.

“Foto-foto atau peta bisa dari berbagai sumber, kayak dari arsip, buku, bisa juga perpustakaan. Biar peserta juga bisa membayangkan seperti apa situasi pada masa lalu di tempat yang didatangi,” terang Ade Purnama, founder Sahabat Museum yang bisa membawa puluhan gambar dalam setiap PTD.

Gereja bekas rumah kapitan

Tak sampai satu jam berjalan, acara pagi itu langsung diisi dengan acara kuliner di Laksa Lao Hoe yang ada di kawasan Tian Liong atau Gang Kalimati.

Sambil mengaso, peserta PTD bisa menikmati menu di rumah makan yang ada sejak tahun 1980-an itu yaitu Laksa Bogor atau Bakmi Belitung. Keduanya tampak sama-sama lezat.

Pilihan PTD mampir ke Laksa Lao Hoe sebenarnya bukan hanya karena makanannya yang enak. Namun juga karena rumah makan ini menempati bangunan lama awal abad ke-20 yang masih dipertahankan kelestariannya.

Meski bangunannya tidak terlalu besar (maksimal hanya bisa menampung sekitar 25 orang) namun pemilik rumah makan tetap mempertahankan beberapa ciri khas seperti kusen, teralis, pintu, dan ornamen-ornamen khas rumah Betawi tempo dulu.

Selesai menikmati sepiring laksa, perjalanan dilanjutkan menuju Kelenteng Toasebio di Jalan Kemenangan III atau dulu dikenal sebagai Jalan Toasebio.

Klenteng yang kini bernama Vihara Dharma Jaya ini merupakan salah satu klenteng tertua di Glodok. Kabarnya bangunannya sempat ikut terbakar dalam peristiwa Geger Pacinan, hingga akhirnya direnovasi dan selesai pada tahun 1751.

Lanjut penelusuran siang itu, peserta juga menyambangi Gereja Katolik Maria de Fatima yang jaraknya tak sampai 100 meter dari klenteng.

Peserta Plesiran Tempo Doeloe Sahabat Museum berpose di depan Gereja Katolik Maria de Fatima, Toasebio, Minggu (3/3)
Peserta Plesiran Tempo Doeloe Sahabat Museum berpose di depan Gereja Katolik Maria de Fatima, Toasebio, Minggu (3/3)

Gereja ini terasa menarik dikunjungi karena bangunannya masih berlanggam arsitektur gaya Fujian. Atapnya masih berbentuk ekor burung walet dengan beberapa ornamen khas budaya Tionghoa mewarnai gereja.

Bangunan ini awalnya adalah rumah Kapitan Tionghoa bermarga Tjioe yang ada pada awal abad 20. Pada tahun 1950, rumah dibeli oleh misionaris Katolik dan dijadikan gereja untuk melayani umat dari keturunan Tionghoa. Saat ini di kompleks gereja juga berdiri sekolah dan asrama dari misi para biarawan Jesuit.

Bangunan termegah di Batavia

Tak berlama-lama, peserta kemudian bergerak lagi menuju Klenteng Kim Tek Ie atau dikenal juga sebagai Vihara Dharma Bhakti.

Klenteng ini juga dikenal sebagai klenteng tertua di Jakarta, karena sudah berdiri sejak tahun 1650 dengan nama Kwan Im Teng. “Dari nama Kwan Im Teng inilah akhirnya muncul penyebutan kata ‘klenteng’ karena pengucapan warga setempat,” tutur Ade Purnama.

Di kompleks klenteng ini pula, Ade Purnama mempresentasikan perihal keberadaan Observatorium Mohr. Ini adalah observatorium tertua di Indonesia, jauh sebelum adanya Observatorium Boscha di Bandung.

Observatorium Mohr, sebuah observatorium sekaligus bangunan termegah di Batavia karena terdiri atas 6 lantai. Bangunan roboh karena gempa pada 1844.
Observatorium Mohr, sebuah observatorium sekaligus bangunan termegah di Batavia karena terdiri atas 6 lantai. Bangunan roboh karena gempa pada 1844.

Observatorium Mohr merupakan bangunan milik pribadi dari Johann Mauritz Mohr (1716-1775) seorang pendeta Kristen dan kebetulan juga menyukai dunia astronomi.

Sayangnya saat ini observatorium tersebut sudah tidak ada jejaknya. Setelah meninggalnya Mohr dan kemudian terjadi gempa dahsyat di Batavia pada 1780, gedung termegah di Batavia karena berlantai 6 itu rusak berat.

Bangunan dan lokasi tersebut beberapa kali berubah fungsi dari mulai hotel hingga barak tentara, sampai akhirnya pada 1844 sudah tidak tersisa sama sekali.

Lebih dari 100 tahun kemudian, orang mencoba mereka-reka di mana sebenarnya letak observatorium Mohr. Berdasarkan lukisan dari Johannes Rach dan J. Clement, bisa dipastikan lokasinya adalah persis berseberangan dengan bangunan utama Klenteng Kim Tek Ie.

Akhir dari perjalanan PTD kali ini, para peserta sempat singgah di Djauw Coffee, sebuah kafe yang cukup dikenal oleh para wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Glodok.

Beruntung di kafe ini, para peserta PTD mendapat sebuah ruangan yang memadai untuk mendengarkan penjelasan lebih dalam seputar sejarah Glodok dari Ade Purnama dan Nadia Purwestri. Semua disampaikan tuntas.

Artikel Terkait