Aksi ini dipelopori oleh tiga keluarga korban pelanggaran HAM berat, yaitu Sumarsih, ibu dari Wawan, seorang mahasiswa yang tewas dalam peristiwa Semanggi I pada 1998; Suciwati, istri dari Munir, seorang aktivis HAM yang dibunuh dengan racun arsenik pada 2004; dan Bedjo Untung, perwakilan keluarga korban pembantaian dan pengurungan tanpa proses hukum yang terjadi pada 1965-1966.
Aksi Kamisan terinspirasi dari aksi damai yang dilakukan oleh Asociacion Madres de Plaza de Mayo, sekelompok ibu yang menuntut tanggung jawab negara atas pembunuhan dan penghilangan paksa anak-anak mereka oleh rezim militer Argentina pada 1977.
Aksi ini juga didukung oleh berbagai elemen masyarakat sipil, organisasi HAM, mahasiswa, seniman, dan tokoh publik.
Aksi Kamisan memiliki beberapa simbol yang menjadi ciri khasnya, yaitu payung hitam, bunga melati, dan lilin.
Payung hitam melambangkan kesedihan dan kegelapan yang dialami oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Bunga melati melambangkan harapan dan keindahan yang tetap ada di tengah penderitaan.
Lilin melambangkan cahaya dan semangat yang tidak pernah padam dalam perjuangan menuntut keadilan.
Selama 17 tahun, Aksi Kamisan telah menjadi salah satu gerakan sosial yang paling konsisten dan gigih di Indonesia.
Aksi ini telah menggelar lebih dari 800 kali aksi, dengan berbagai tema dan tuntutan yang berkaitan dengan isu-isu HAM, seperti penyelesaian kasus Semanggi, Trisakti, Tanjung Priok, Talangsari, May 1998, Munir, Papua, Aceh, dan lain-lain.
Aksi ini juga telah menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, seperti intimidasi, pengusiran, penghalangan, hingga penangkapan oleh aparat keamanan.
Namun, meskipun telah berlangsung selama 17 tahun, Aksi Kamisan belum mendapatkan respons yang memuaskan dari pemerintah.
Baca Juga: Sudah Berlangsung 17 Tahun, Begini Sejarah Aksi Kamisan Depan Istana
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR