Keluarga Alatas menempati rumah tersebut selama 15 tahun.
Kemudian, sang saudagar kaya pindah menempati rumah mertuanya yang merupakan Konsul Turki Sayed Abdul Azis al Musani.
Setelah ditinggalkan keluarga Alatas, rumah ini pernah menjadi lokasi pameran seni di Hindia Belanda.
Pameran berskala internasional ini berlangsung di salah satu bangunan yang ada di Planten en Dierentuin pada tahun 1893.
Dalam pemaparannya Nadia juga memperlihatkan dokumentasi-dokumentasi karya yang dipajang pada pameran waktu itu.
Tak main-main, dalam perjalanan berkeliling dunia salah satu tokoh penting dunia ternyata turut menghadiri pameran ini.
Dia adalah, Franz Ferdinand yang merupakan tokoh pencetus Perang Dunia I.
Kemudian, pada tahun 1897 rumah ini dibeli oleh Yayasan Koningin Emma Stitching dengan dana bantuan dari Ratu Emma sebesar 100.000 gulden.
Mereka hendak mendirikan rumah sakit sebagai sentra pelayanan kesehatan bagi warga di HIndia Belanda.
Mendengar rumah tersebut hendak dijadikan rumah sakit, keluarga Alatas berbaik hati memberikan diskon hampir setengah harga kepada yayasan asal Belanda tersebut.
Setahun berselang berdirilah sebuah rumah sakit dengan nama Koningin Emma.
Yang kemudian, pada 1 Agustus 1913 berganti nama menjadi Rumah Sakit Tjikini.
Yayasan ini membangun berbagai paviliun untuk menangani pasien, kapel sebagai tempat ibadah, juga asrama perawat bagi para suster yang bekerja di rumah sakit.
Semua pembangunan dilakukan secara berkala.
Pada masa pendudukan Jepang, rumah sakit ini juga difungsikan sebagai Rumah Sakit Angkatan Laut Jepang atau yang beken disebut Kaigun pada tahun 1942-1945.
Barulah setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, pada tahun 1957 rumah sakit ini diserahkan kepada Dewan Gereja-Gereja Indonesia dan hingga saat ini menjadi rumah sakit PGI Cikini.
Walaupun sudah dinobatkan sebagai cagar budaya atas nama Rumah Sakit Cikini, saat para peserta PTD masuk ke dalam ruangannya, beberapa sudut ruangan dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan.
Sempat ada rencana untuk merevitalisasi gedung ini dan mengembalikannya ke bentuk semula sesuai dengan dokumentasi-dokumentasi yang ada pada masa lalu.
Hanya saja, memang bukan perkara mudah untuk melakukan revitalisasi bangunan bersejarah seperti Raden Saleh.
Semua langkah harus dipertimbangkan matang-matang untuk menjaga orisinalitasnya.
Selain itu, para peneliti juga memperkirakan perlu dana yang tidak murah untuk merevitalisasi bangunan bersejarah seperti ini. (Akbar Gibrani)
Baca Juga: Kongsi Penguasa dan Pengusaha; JP Coen - Souw Beng Kong
Penulis | : | Akbar Gibrani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR