Plesiran Tempo Doeloe ke-191: Menelusuri 'Istana' Raden Saleh

Ade S

Editor

Peserta Plesiran Tempo Doeloe ke-191 berpose di depan Rumah Raden Saleh yang sekarang berada di dalam kompleks RS PGI Cikini.
Peserta Plesiran Tempo Doeloe ke-191 berpose di depan Rumah Raden Saleh yang sekarang berada di dalam kompleks RS PGI Cikini.

Intisari-Online.com -Dari bekas toko roti Tan Ek Tjoan, setelah sebelumnya mampir diSMPN 1 Cikini, pesertaPlesiran Tempo Doeloe (PTD) ke-191 beranjak ke bekas kediaman Raden Saleh.

Tempat ini jadi bagian penting dari tajuk utama PTD,kolaborasi antara komunitas Sahabat Museum dan Intisari, media dengan fokus bahasan sejarah serta tradisi, edisi 28 Januari 2024, yaitu Kebon Binatang Tjikini.

Dulunya, kebun binatang pertama di Indonesia ini merupakan bagian dari rumah Raden Saleh seluas 10 hektar.

Lahan seluas itu membentang mulai dari Rumah Sakit PGI CIkini hingga Taman Ismail Marzuki (TIM). Luas sekali.

Tepat di lokasi ini juga, Ade Purnama dan Nadia Prawestri akan banyak menjelaskan lini masa dan kronologi kejadian yang memengaruhi perkembangan kawasan Cikini hingga sekarang.

Raden Saleh dan Kebun Binatangnya

Tak lengkap rasanya bertamu tanpa membahas sang pemilik rumah, Raden Saleh.

Pemilik nama lengkap Raden Saleh Sjarief Boestaman ini terkenal sebagai pelukis dengan aliran romantisme Indonesia berdarah Arab-Jawa.

Dirinya dianggap sebagai pelopor seni modern pertama di Indonesia yang kala itu masih dalam bentuk Hindia Belanda.

Dalam catatan sejarah terdapat dua versi tahun kelahiran Raden Saleh di Terboyo, Semarang yaitu tahun tahun 1807 dan tahun 1811.

Sementara untuk tanggal meninggalnya, semuanya 'sepakat' pada tanggal 23 April 1880.

Baca Juga: Plesiran Tempo Doeloe ke-191: Menyusuri Pertokoan Modern Era Batavia

Lahir dari keluarga bangsawan, Raden Saleh kecil menghabiskan waktunya di rumah pamannya, Kyai Adipati Soero Menggolo yang menjabat sebagai Bupati wilayah Semarang.

Kemudian, sekitar tahun 1822 Raden Saleh berpindah ke Cianjur dan Bogor bersama keluarga pelukis Belgia, Antonie Auguste Joseph Paijen,

Dari sinilah, kemudian disinyalir menjadi awal ketertarikan Raden Saleh pada dunia seni.

Beberapa tahun kemudian dirinya beranjak ke Belanda bersama keluarga De Linge untuk menempuh pendidikan kurang lebih selama 23 tahun.

Saat tinggal di Belanda inilah Raden Saleh juga melakukan perjalanan keliling Eropa dan menjalin relasi dengan para bangsawan di sana.

Berkat kepiawaiannya dalam melukis, ia juga dipercaya untuk melukis beberapa aristokrat di sana.

Hingga akhirnya, pada tahun 1851 Raden Saleh pulang ke Batavia.

Tak berapa lama setelah itu, ia menikah dengan seorang janda kaya bernama Constantia Winckelhagen dan tinggal di Gunung Sahari.

Constantia adalah seorang berkebangsaan Eropa yang memiliki berbagai usaha di Hindia Belanda.

Ia mempekerjakan banyak karyawan di pabrik parfumnya dan juga toko perhiasan, yang disebut-sebutmemiliki lebih dari 30 pengrajin emas.

Selang setahun setelahnya, Raden Saleh dan istrinya mulai membangun rumah istananya di kawasan Cikini dengan luas kurang lebih 10 hektar.

Baca Juga: Masjid Cut Meutia, Masjid 'Miring' yang Mengawali Plesiran Tempo Doeloe ke-191

Rumah ini didesain oleh Raden Saleh sendiri dan sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur bangunan Eropa pada masa itu.

Gaya arsitektur bangunannya sangat dipengaruhi dengan gaya Eropa yang juga dekat dengan aliran seni romantisme Raden Saleh.

Selain itu,ditemukan jugagaya arsitektur yang dipengaruhi oleh bangunan-bangunan di timur tengah (Moorish) dan juga ornamen relief Cina pada bangunan rumah tersebut.

Dari sisi estetika bangunan ini merupakan rumah tipe villa berlanggam elektik-neogotik satu-satunya di Indonesia.

Selain merupakan seorang seniman, Raden Saleh juga dikenal memiliki kecintaan terhadap sains, arkeologi, arsitektur, juga botani.

Banyak karyanya lahir berkat inspirasi akan hewan dan tumbuhan.

Beberapa diantaranya adalah Singa Terluka (1838) dan Perburuan Banteng (1855)

Di lahannya yang luas kemudian Raden Saleh memelihara berbagai satwa dan juga tumbuh-tumbuhan.

Kawasan inilah yang kemudian menjadi kebun binatang pertama di Hindia Belanda bernama Planten en Dierentuin pada tahun 1864.

Nama Planten en Dierentuin kemudian berubah nama menjadi Kebun Binatang Cikini pada tahun 1949.

Selang seabad didirikan, kebun binatang ini pun dipindahkan ke Ragunan pada Juni 1964 dengan tanah seluas 30 hektar.

Baca Juga: Plesiran Tempo Doeloe, Jelajah Gerbang Amsterdam untuk Merawat Memori Kota Batavia

Dengan kata lain, Kebun Binatang Cikini inilah yang menjadi cikal bakal wilayah Taman Margasatwa Ragunan yang kita kenal sekarang.

Perjalanan Cinta Raden Saleh

Raden Saleh selesai membangun rumahnya pada tahun 1862. Namun sayang, di tahun yang sama dirinya harus bercerai dengan Constantia.

Tidak diketahui pasti alasan perceraian mereka, tetapi Nadia Purwestri mengungkapkan ada satu sebab yang memungkinkan hal tersebut dapat terjadi.

“Kondisi di Hindia Belanda pada saat itu tidak umum seorang pria Jawa (lokal) menikah dengan wanita Eropa. Yang umum adalah pria Eropa menikah dengan wanita lokal. Jadi, mereka (Raden Saleh dan Constantia) seakan-akan tidak diterima baik di lingkungan orang Belanda maupun orang-orang lokal,” tuturnya.

Hal tersebut menciptakan situasi sosial yang tidak mengenakan dan ditengarai menjadi sebab perceraian mereka.

Setelah bercerai dari Constantia, lima tahun kemudian Raden Saleh menikahi seorang wanita asal Bogor, Raden Ayu Danudirejo.

Raden Saleh kemudian menjual tanahnya di Cikini dan hijrah ke Bogor untuk hidup bersama istrinya.

Kondisi plafon di Rumah Sakit CIkini pada beberapa bagian sudah mengalami pelapukan karena dimakan usia.
Kondisi plafon di Rumah Sakit CIkini pada beberapa bagian sudah mengalami pelapukan karena dimakan usia.

Rumah Raden Saleh Lintas Waktu

Setelah Raden Saleh berpindah ke Bogor seorang saudagar kaya keturunan Arab bernama Sayid Abdullah bin Alwi Alatas membeli rumah tersebut pada tahun 1867.

Baca Juga: Menelusuri Jejak Rencana Ibukota Baru Di Weltevreden

Keluarga Alatas menempati rumah tersebut selama 15 tahun.

Kemudian, sang saudagar kaya pindah menempati rumah mertuanya yang merupakan Konsul Turki Sayed Abdul Azis al Musani.

Setelah ditinggalkan keluarga Alatas, rumah ini pernah menjadi lokasi pameran seni di Hindia Belanda.

Pameran berskala internasional ini berlangsung di salah satu bangunan yang ada di Planten en Dierentuin pada tahun 1893.

Dalam pemaparannya Nadia juga memperlihatkan dokumentasi-dokumentasi karya yang dipajang pada pameran waktu itu.

Tak main-main, dalam perjalanan berkeliling dunia salah satu tokoh penting dunia ternyata turut menghadiri pameran ini.

Dia adalah, Franz Ferdinand yang merupakan tokoh pencetus Perang Dunia I.

Kemudian, pada tahun 1897 rumah ini dibeli oleh Yayasan Koningin Emma Stitching dengan dana bantuan dari Ratu Emma sebesar 100.000 gulden.

Mereka hendak mendirikan rumah sakit sebagai sentra pelayanan kesehatan bagi warga di HIndia Belanda.

Mendengar rumah tersebut hendak dijadikan rumah sakit, keluarga Alatas berbaik hati memberikan diskon hampir setengah harga kepada yayasan asal Belanda tersebut.

Setahun berselang berdirilah sebuah rumah sakit dengan nama Koningin Emma.

Yang kemudian, pada 1 Agustus 1913 berganti nama menjadi Rumah Sakit Tjikini.

Yayasan ini membangun berbagai paviliun untuk menangani pasien, kapel sebagai tempat ibadah, juga asrama perawat bagi para suster yang bekerja di rumah sakit.

Semua pembangunan dilakukan secara berkala.

Pada masa pendudukan Jepang, rumah sakit ini juga difungsikan sebagai Rumah Sakit Angkatan Laut Jepang atau yang beken disebut Kaigun pada tahun 1942-1945.

Barulah setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, pada tahun 1957 rumah sakit ini diserahkan kepada Dewan Gereja-Gereja Indonesia dan hingga saat ini menjadi rumah sakit PGI Cikini.

Walaupun sudah dinobatkan sebagai cagar budaya atas nama Rumah Sakit Cikini, saat para peserta PTD masuk ke dalam ruangannya, beberapa sudut ruangan dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan.

Sempat ada rencana untuk merevitalisasi gedung ini dan mengembalikannya ke bentuk semula sesuai dengan dokumentasi-dokumentasi yang ada pada masa lalu.

Hanya saja, memang bukan perkara mudah untuk melakukan revitalisasi bangunan bersejarah seperti Raden Saleh.

Semua langkah harus dipertimbangkan matang-matang untuk menjaga orisinalitasnya.

Selain itu, para peneliti juga memperkirakan perlu dana yang tidak murah untuk merevitalisasi bangunan bersejarah seperti ini.(Akbar Gibrani)

Baca Juga: Kongsi Penguasa dan Pengusaha; JP Coen - Souw Beng Kong

Artikel Terkait