Sejak Selasa (31/10/2023), MKMK terus melakukan pemeriksaan terhadap aduan ini, baik ke para pelapor maupun hakim konstitusi.
Meski putusan MKMK baru akan dibacakan pada 7 November 2023, telah ditemukan sejumlah hal ganjil dari pemeriksaan tersebut.
Tak bertanda tangan
Pertama, perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada akhirnya dikabulkan oleh MK dimohonkan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
Ternyata, baru-baru ini terungkap bahwa dokumen perbaikan permohonan tersebut tak ditandatangani kuasa hukum ataupun Almas sendiri.
Temuan ini diungkap oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), salah satu pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi.
PBHI mendapatkan dokumen tersebut langsung dari situs resmi MK dan dipaparkan dalam persidangan.
"Kami berharap ini juga diperiksa. Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ungkap Ketua PBHI Julius Ibrani yang terhubung secara daring dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).
Menurut Julius, selama ini MK telah menjadi pionir sekaligus teladan pemeriksaan persidangan yang begitu disiplin, termasuk dalam hal tertib administratif.
Oleh karenanya, janggal apabila ada dokumen permohonan yang tak ditandatangani, tetapi tetap diproses.
"Kami mendapatkan satu catatan, dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya," ucap dia.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa terdapat dua dokumen perbaikan yang disampaikan pemohon perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR