Hal Ganjil Seputar Putusan MK Terkait Batasan Usia Capres-cawapres: Mulai Tanda Tangan Hingga Dugaan Anwar Usman Bohong

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ada beberapa dugaan geganjilan yang terjadi di seputar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres.
Ada beberapa dugaan geganjilan yang terjadi di seputar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres.

Ada beberapa dugaan geganjilan yang terjadi di seputar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres.

Intisari-Online.com -Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres masih menuai polemik hingga sekarang.

Putusan itu tak pelak mempermudah langkah Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Di luar itu, beberapa kalangan menilai ada yang janggal dari putusan itu.

Salah satunya adalah soal dugaan Anwar Usman, Ketua MK yang notabene paman Gibran Rakabuming Raka, bohong.

Terkait polemik itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)terus memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang menyeret sembilan hakim konstitusi itu.

Putusan itu mengabulkan sebagian uji materi syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Karena putusan itu, siapa pun walau belum berusia 40 tahun bisa maju sebagai capres atau cawapres jika punya pengalaman sebagai kepala daerah atau pejabat lain yang dipilih melalui pemilu.

Dan karena putusan itu, putra sulung Presiden Joko Widodo yang juga Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, yang baru berusia 36 tahun dapat maju sebagai cawapres Pemilu 2024.

Putusan ini pun menuai polemik dan dianggap memuat konflik kepentingan lantaran diketuk oleh Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi sekaligus paman dari Gibran.

Sedikitnya, ada 20 aduan yang masuk ke MK buntut putusan tersebut.

Ada yang melaporkan Anwar Usman dan memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan semua hakim konstitusi, ada pula yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023.

Sejak Selasa (31/10/2023), MKMK terus melakukan pemeriksaan terhadap aduan ini, baik ke para pelapor maupun hakim konstitusi.

Meski putusan MKMK baru akan dibacakan pada 7 November 2023, telah ditemukan sejumlah hal ganjil dari pemeriksaan tersebut.

Tak bertanda tangan

Pertama, perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada akhirnya dikabulkan oleh MK dimohonkan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.

Ternyata, baru-baru ini terungkap bahwa dokumen perbaikan permohonan tersebut tak ditandatangani kuasa hukum ataupun Almas sendiri.

Temuan ini diungkap oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), salah satu pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi.

PBHI mendapatkan dokumen tersebut langsung dari situs resmi MK dan dipaparkan dalam persidangan.

"Kami berharap ini juga diperiksa. Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ungkap Ketua PBHI Julius Ibrani yang terhubung secara daring dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).

Menurut Julius, selama ini MK telah menjadi pionir sekaligus teladan pemeriksaan persidangan yang begitu disiplin, termasuk dalam hal tertib administratif.

Oleh karenanya, janggal apabila ada dokumen permohonan yang tak ditandatangani, tetapi tetap diproses.

"Kami mendapatkan satu catatan, dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya," ucap dia.

Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa terdapat dua dokumen perbaikan yang disampaikan pemohon perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Katanya, dokumen perbaikan yang diunggah di situs resmi MK memang tidak bertanda tangan.

"Tapi ada sidang klarifikasi, sidang pendahuluan, nah itu sudah diperbaiki," kata Jimly selepas sidang, Kamis (2/11/2023).

Jimly pun mengakui bahwa temuan ini menunjukkan adanya masalah dalam tertib administrasi di MK terkait perkara uji materi syarat usia capres-cawapres.

"Kami sudah mendapatkan klarifikasi khusus untuk itu, (bahwa) ada rapat klarifikasi. Itu sudah diperbaiki," tegasnya.

Dugaan kebohongan

Kedua, dari pemeriksaan para hakim konstitusi oleh MKMK terungkap adanya dugaan kebohongan Anwar Usman.

Anwar diduga memberikan keterangan yang tidak benar soal alasannya tak ikut memutus tiga perkara uji materi usia capres-cawapres dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).

Tiga perkara uji materi bernomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 itu akhirnya ditolak oleh MK.

Dugaan kebohongan Anwar ini disampaikan salah satu pelapor dan dikonfirmasi oleh MKMK ke para hakim konstitusi yang diperiksa.

"Tadi ada yang baru soal kebohongan. Ini hal yang baru," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie kepada wartawan, Rabu (1/11/2023).

"Kan waktu itu alasannya kenapa tidak hadir ada dua versi, ada yang bilang karena (Anwar) menyadari ada konflik kepentingan, tapi ada alasan yang kedua karena sakit. Ini kan pasti salah satu benar, dan kalau satu benar berarti satunya tidak benar," ujarnya lagi.

Kronologi mengenai mangkirnya Anwar Usman dalam RPH putusan tiga perkara tersebut sebelumnya diungkap oleh hakim konstitusi Arief Hidayat lewat dissenting opinion dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

RPH itu dihadiri oleh delapan dari sembilan hakim konstitusi pada 19 September 2023.

"RPH dipimpin oleh Wakil Ketua (Saldi Isra) dan saya menanyakan mengapa ketua tidak hadir. Wakil ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan," kata hakim konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pendapat berbedanya dalam sidang di Gedung MK, 16 Oktober 2023.

"Disebabkan, isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, di mana kerabat ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo," ujarnya lagi.

Tanpa kehadiran Anwar Usman, RPH menghasilkan putusan yang konsisten terhadap sikap Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu, bahwa ihwal usia jabatan publik merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi ranah pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan pemerintah.

Oleh karenanya, dalam RPH tersebut, MK secara aklamasi menolak tiga gugatan yang masing-masing diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan para kepala daerah itu.

Namun, dalam RPH berikutnya, menurut Arief, Anwar Usman menjelaskan bahwa ia tak ikut memutus perkara PSI, Garuda, dan para kepala daerah, karena alasan kesehatan.

"Bukan untuk menghindari konflik kepentingan atau conflict of interest sebagaimana disampaikan wakil ketua pada RPH terdahulu," kata Arief Hidayat.

Atas kehadiran Anwar, sikap sejumlah hakim konstitusi mendadak berbalik 180 derajat, menyatakan bahwa kepala daerah dan anggota legislatif pada semua tingkatan berhak maju sebagai capres-cawapres meski belum 40 tahun.

Substansi ini menjadi dasar dikabulkannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kini menjadi kontroversi.

Bukti CCTV

MKMK juga mengaku telah mengantongi bukti rekaman kamera pengawas (CCTV) soal kejanggalan pendaftaran gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Diketahui, gugatan itu sempat ditarik, lalu dibatalkan penarikannya.

Namun, atas situasi ini, gugatan tersebut justru menjadi satu-satunya yang dikabulkan oleh MK.

"Itu bagian dari persoalan manajemen registrasi dan persidangan," ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Rabu.

"(Bukti yang dikantongi) CCTV yang berkaitan dengan penarikan permohonan dan pencabutan dan kemudian diajukan lagi. Kita periksa salahnya di mana, belum tentu salah juga," kata dia.

Jimly sebelumnya juga memastikan bakal memeriksa panitera yang berkaitan dengan kejanggalan tersebut.

Pemeriksaan panitera itu dijadwalkan digelar pada Jumat (3/11/2023).

Kejanggalan soal penarikan dan pendaftaran ulang berkas perkara dengan pemohon Almas Tsaqibbirru ini sebelumnya diungkap oleh hakim konstitusi Arief Hidayat saat menyatakan dissenting opinion putusan yang sama.

Dalam dissenting opinion-nya, Arief memaparkan kronologi bahwa kepaniteraan MK menerima surat penarikan gugatan yang dikirim kuasa hukum Almas pada Jumat (29/9/2023).

Surat itu bertanggal 26 September 2023. Namun, pada Sabtu (30/9/2023), MK menerima surat baru dari kuasa hukum Almas bertanggal 29 September 2023 yang isinya memuat pembatalan surat pencabutan gugatan yang mereka serahkan kepada MK satu hari sebelumnya.

Almas cs meminta MK tetap memeriksa dan memutus perkara itu.

Lalu, pada Selasa (3/10/2023), MK menggelar sidang untuk mengonfirmasi pencabutan dan pembatalan pencabutan gugatan Almas.

Menurut kuasa hukum, surat pembatalan penarikan gugatan itu diterima oleh petugas keamanan MK bernama Dani pada Sabtu (30/9/2023) malam.

Namun, berdasarkan penelusuran Arief, merujuk Tanda Terima Berkas Perkara Sementara yang dicatat oleh MK, surat pembatalan penarikan gugatan itu baru diterima pada Senin (2/10/2023) pada pukul 12.04 WIB.

Menurut Arief, pegawai MK yang menerima surat itu pun bukan Dani, sebagaimana dikatakan tim kuasa hukum.

Pegawai MK yang namanya tercantum dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara adalah Safrizal.

Arief mengaku heran karena kepaniteraan MK meregistrasi surat pembatalan penarikan gugatan itu pada Sabtu (30/9/2023) yang notabene merupakan hari libur, bukan pada Senin (2/10/2023) sebagaimana tercatat dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara.

Mantan Ketua MK itu menilai, pemohon mempermainkan kehormatan MK sebagai lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan gugatan.

Arief juga menyebutkan, pemohon mestinya tidak dapat mengajukan lagi gugatan yang telah mereka cabut, sebagaimana diatur Pasal 75 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c pada Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 yang mengatur tata beracara dalam perkara pengujian undang-undang. Di sisi lain, katanya, MK seharusnya menolak surat pembatalan penarikan perkara dan tak lagi melakukan pemeriksaan, apalagi mengabulkan permohonan.

Artikel Terkait