"KPU harus segera merevisi PKPU yang bertentangan dengan putusan MA ini, karena PKPU itu kan merupakan peraturan pelaksana dari UU Pemilu. KPU juga harus melakukan verifikasi ulang terhadap DCT, karena ada kemungkinan ada caleg yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan putusan MA ini," ujarnya.
Prof. Saldi mengakui bahwa tindak lanjut dari putusan MA tersebut akan menimbulkan tantangan dan kesulitan bagi KPU, terutama dalam hal waktu dan sumber daya.
Namun, ia meyakini bahwa KPU mampu mengatasi hal tersebut dengan profesionalisme dan integritas.
"KPU harus siap menghadapi tantangan dan kesulitan yang mungkin timbul akibat putusan MA ini, seperti keterbatasan waktu, anggaran, sumber daya manusia, dan teknologi. KPU harus bekerja keras dan cerdas untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik," ujarnya.
Prof. Hikmahanto Juwana mengapresiasi putusan MA yang mengabulkan gugatan terkait keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap dapil.
Ia mengatakan bahwa putusan tersebut merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dalam politik.
"Putusan MA ini sangat progresif dan positif bagi perempuan Indonesia. Putusan ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam politik. Putusan ini juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi dan kontribusi yang besar bagi pembangunan bangsa," kata Hikmahanto.
Prof. Hikmahanto menilai bahwa keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap dapil merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur kualitas demokrasi di Indonesia.
Ia berharap agar putusan MA tersebut dapat mendorong partai politik untuk lebih serius dan komitmen dalam merekrut dan mendidik kader perempuan.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR