KPU Lakukan Ini Setelah MA Batalkan 2 Aturan Pencalegan Yang Memudahkan Mantan Koruptor Nyalon

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

KPU kumpulkan pakar hukum terkait putusan MA yang membatalkan dua aturan pencalegan, salah satunya soal caleg mantan koruptor.
KPU kumpulkan pakar hukum terkait putusan MA yang membatalkan dua aturan pencalegan, salah satunya soal caleg mantan koruptor.

KPU kumpulkan pakar hukum terkait putusan MA yang membatalkan dua aturan pencalegan, salah satunya soal caleg mantan koruptor.

Intisari-Online.com -Mahkamah Agung telah membatalkan dua Peraturan KPU terkait pencalegan.

Terkait putusan itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun langsung mengumpulkan pakar hukum untuk membahasnya.

Setidaknya ada lima pakar hukum tata negara/administrasi negara yang dikumpulkan untuk merespons dua aturan pencalegan yang dibatalkan MA itu.

Lima orang itu yakni guru besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, eks calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Umbu Rauta, doktor FH Universitas Udayana Jimmy Z. Usfunan, doktor FH Universitas Sebelas Maret Agus Riewanto, dan eks Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Ocr Madril.

"Poin diskusi dititiktekankan pada sejauh mana keberlakuan kedua Putusan MA tersebut dan pilihan langkah apa saja yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjut putusan," kata Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan KPU RI, Mochammad Afifuddin, Senin (2/10).

"Dengan pertimbangan tahapan dan jadwal pencalonan DPR dan DPD yang sudah masuk di tahap ini."

Dua aturan yang dibatalkan MA adalah aturan yang mengancam keterwakilan 30 persen caleg perempuan dan aturan terkait masa jeda eks terpidana yang menjalani vonis pencabutan hak politik.

Putusan MA ini terbit di saat proses pencalegan sudah masuk ke tahap akhir, yakni penetapan daftar calon sementara (DCS) dan pencermatan rancangan daftar calon tetap (DCT).

Keterwakilan perempuan

Sebelumnya, MA mengabulkan gugatan perkara nomor 24/P/HUM/2023 pada Selasa (29/8/2023) untuk membatalkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Dalam pasal itu, KPU mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.

Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat delapan caleg, hitungan jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya akan menghasilkan angka 2,4.

Karena angka di belakang desimal kurang dari lima, maka berlaku pembulatan ke bawah.

Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total delapan caleg di dapil itu cukup hanya dua orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.

Padahal, dua dari delapan caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 UU Pemilu.

Masa jeda eks terpidana

Sementara itu, pada Jumat (29/9/2023), MA membatalkan Pasal 11 Ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023.

Kedua pasal di dalam PKPU itu mengatur bahwa masa jeda lima tahun untuk maju sebagai caleg dikecualikan untuk eks terpidana yang telah menjalani vonis pencabutan hak politik (memilih/dipilih), berapa pun lamanya pencabutan hak politik itu.

Itu artinya, seseorang yang divonis, katakanlah, 10 tahun penjara karena kasus korupsi, bisa maju caleg tanpa menunggu masa jeda lima tahun, seandainya ia telah menjalani pencabutan hak politik meskipun hanya, misalnya, dua tahun.

Sementara itu, dalam perumusan kedua pasal itu, KPU beralasan bahwa pengecualian sebagaimana diterangkan di atas merupakan amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022, halaman 29.

KPU juga mempersoalkan bahwa gugatan tersebut dilayangkan ke MA 32 hari kerja sejak PKPU tadi diundangkan pada 18 April 2023, padahal Undang-undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu membatasinya hanya 30 hari kerja.

Artikel Terkait