KPU Siap Tindaklanjuti Putusan MA Soal Eks Koruptor dan Kuota Perempuan Nyaleg

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Mahkamah Agung
Mahkamah Agung

Intisari-online.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menghormati putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan terkait peraturan KPU (PKPU) tentang keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap dapil dan juga mantan narapidana koruptor bisa nyaleg tanpa harus menunggu masa jeda lima tahun.

KPU akan menyampaikan kepada partai politik untuk melaksanakan putusan MA tersebut.

Putusan MA Nomor 24 dan 28 Tahun 2023 tersebut memerintahkan KPU untuk mencabut dua pasal yang mempermudah mantan narapidana kasus korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).

Selain itu, putusan MA juga mengharuskan KPU untuk menjamin keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap dapil, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Anggota KPU Idham Holik mengatakan bahwa KPU masih mengkaji aturan turunan dari putusan MA tersebut.

Ia belum bisa memastikan apakah akan merevisi PKPU 10 dan 11 Tahun 2023.

Kendati begitu, ia menyebut pihaknya tetap menghormati putusan MA yang bersifat final dan mengikat.

"Yang jelas kami akan sampaikan kepada partai politik untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung, dan saat ini memang partai politik juga informasinya sedang mengajukan fatwa ke MA," kata Idham kepada wartawan di Hotel Gran Melia, Jakarta, Senin (1/10/2023).

Idham menambahkan bahwa untuk mengubah lampiran 1 PKPU Nomor 10/2023 itu harus berkonsultasi dengan DPR RI, khususnya Komisi II yang membidangi masalah pemilu.

"Ya mempedomani putusan Mahkamah Agung," ujarnya.

Sementara itu, Anggota KPU Mochammad Afifuddin menyebut bahwa KPU sedang merumuskan tindak lanjut dari putusan MA tersebut.

Baca Juga: KPU Lakukan Ini Setelah MA Batalkan 2 Aturan Pencalegan Yang Memudahkan Mantan Koruptor Nyalon

Ia mengatakan bahwa KPU pasti akan menindaklanjuti putusan tersebut sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

"Setelah ini kita matangkan untuk merumuskan tindak lanjut putusan itu. Maksudnya kita TL (tindak lanjut) nih, nah bentuknya apa yang sedang kita rumuskan," tuturnya.

Sebagai langkah awal, KPU telah mengadakan rapat untuk mendengar pendapat ahli hukum terkait putusan MA tersebut.

Pakar hukum tersebut hadir secara virtual dalam rapat yang berjalan tertutup. Berikut lima pakar hukum dalam acara diskusi KPU:

- Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., pakar hukum tata negara

- Prof. Dr. Saldi Isra, SH., MPA., pakar hukum tata negara

- Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., pakar hukum internasional

- Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH., LL.M., pakar hukum administrasi negara

- Prof. Dr. Margarito Kamis, SH., MH., pakar hukum pidana

Dalam diskusi tersebut, para pakar hukum memberikan masukan dan saran kepada KPU terkait implikasi dan solusi dari putusan MA tersebut.

Mereka juga membahas tentang aspek-aspek hukum, politik, dan teknis yang berkaitan dengan pencalegan mantan narapidana koruptor dan keterwakilan perempuan.

Baca Juga: KPU Genjot Kebutuhan Logistik Dan Infrastruktur Tahapan Pemilu 2024

Salah satu masukan yang disampaikan oleh Prof. Jimly adalah agar KPU tidak terburu-buru dalam menindaklanjuti putusan MA tersebut.

Ia menyarankan agar KPU menunggu sampai ada fatwa MA yang menjelaskan secara rinci tentang isi dan alasan putusan tersebut.

"KPU harus sabar menunggu fatwa MA, karena putusan MA itu kan hanya berisi amar putusan, belum ada pertimbangan hukumnya. Jadi, KPU harus tahu dulu apa alasan MA mengabulkan gugatan tersebut, apa dampaknya bagi proses pemilu, dan bagaimana cara melaksanakannya," kata Jimly.

Prof. Jimly juga mengingatkan bahwa putusan MA tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru, seperti penolakan dari partai politik, kegaduhan di masyarakat, dan ketidakpastian hukum.

Ia mengusulkan agar KPU berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti DPR, MA, partai politik, dan masyarakat sipil untuk mencari solusi terbaik.

"KPU harus berdialog dengan semua pihak yang berkepentingan, jangan sampai putusan MA ini malah merusak proses pemilu yang sudah berjalan.KPU harus mencari jalan keluar yang adil, bijaksana, dan demokratis," ujarnya.

Sementara itu, Prof. Saldi Isra menekankan bahwa putusan MA tersebut harus dihormati dan dilaksanakan oleh KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu.

Ia mengatakan bahwa putusan MA tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional dan demokratis yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

"Putusan MA ini sejalan dengan UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pemilu. Putusan MA ini juga sejalan dengan UU Pemilu yang mengatur tentang keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap dapil dan larangan bagi mantan narapidana koruptor untuk nyaleg," kata Saldi.

Prof. Saldi menyarankan agar KPU segera merevisi PKPU 10 dan 11 Tahun 2023 sesuai dengan putusan MA tersebut.

Ia juga meminta agar KPU melakukan verifikasi ulang terhadap daftar calon tetap (DCT) yang sudah ditetapkan oleh KPU pada 20 September 2023 lalu.

Baca Juga: KPU Siap Gelar Pemilu Serentak 2024, Berikut Ini Tahapan dan Jadwalnya

"KPU harus segera merevisi PKPU yang bertentangan dengan putusan MA ini, karena PKPU itu kan merupakan peraturan pelaksana dari UU Pemilu. KPU juga harus melakukan verifikasi ulang terhadap DCT, karena ada kemungkinan ada caleg yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan putusan MA ini," ujarnya.

Prof. Saldi mengakui bahwa tindak lanjut dari putusan MA tersebut akan menimbulkan tantangan dan kesulitan bagi KPU, terutama dalam hal waktu dan sumber daya.

Namun, ia meyakini bahwa KPU mampu mengatasi hal tersebut dengan profesionalisme dan integritas.

"KPU harus siap menghadapi tantangan dan kesulitan yang mungkin timbul akibat putusan MA ini, seperti keterbatasan waktu, anggaran, sumber daya manusia, dan teknologi. KPU harus bekerja keras dan cerdas untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik," ujarnya.

Prof. Hikmahanto Juwana mengapresiasi putusan MA yang mengabulkan gugatan terkait keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap dapil.

Ia mengatakan bahwa putusan tersebut merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dalam politik.

"Putusan MA ini sangat progresif dan positif bagi perempuan Indonesia. Putusan ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam politik. Putusan ini juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi dan kontribusi yang besar bagi pembangunan bangsa," kata Hikmahanto.

Prof. Hikmahanto menilai bahwa keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap dapil merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur kualitas demokrasi di Indonesia.

Ia berharap agar putusan MA tersebut dapat mendorong partai politik untuk lebih serius dan komitmen dalam merekrut dan mendidik kader perempuan.

Artikel Terkait