Dirinya pun mempertanyakan apakah budaya kekerasan terhadap perempuan akan terus dibiarkan.
Pelestarian budaya menurutnya harus dibedakan dengan kekerasan terhadap perempuan.
"Jadi jangan kemudian itu kan budaya, misalnya budaya Indonesia, tapi kita harus melihat itu kan kekerasan bukan budaya yang tidak bisa diganti, budayanya bisa diganti dengan yang lebih setara, lebih egaliter," lanjut dia.
Tak hanya itu, Budi mengaku bahwa pihaknya telah mengulas isu-isu seputar budaya-budaya di Indonesia yang membahayakan kaum perempuan.
Misalnya, tradisi sunat perempuan dan nikah anak.
Kedua budaya tersebut dinilai praktik-praktik budaya yang juga merugikan perempuan.
Tak hanya itu, dalam video viral tersebut juga memperlihatkan adanya pemaksaan terhadap perempuan, yang menurut Budi, merupakan adanya kekerasan fisik.
"Kalau mau dilihat konstruksi ya secara sosial sudah tidak menempatkan perempuan sebagai subyek, sehingga merendahkan perempuan dari harkat dan martabatnya," ujar Budi.
Budi menyampaikan bahwa sekalipun itu atas nama budaya, kawin tangkap atau kawin paksa itu akan ada dalam usulan salah satu kekerasan seksual di UU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Di sisi lain, terkait tradisi pernikahan yang merugikan kaum perempuan, yakni usia calon pengantin perempuan minimal 19 tahun di mana asumsi usia tersebut sudah tidak pada kategori anak.
Meski begitu, bukan berarti dapat semena-mena terhadap tubuh perempuan.
Menyoal kasus tersebut, Budi mengungkapkan bahwa terlihat sekali ratifikasi CEDAW (Convention of the Elimination of all Forms of Discrimination againts Women), atau penghapusan destinasi terhadap perempuan yang tertuang dalam Nomor 7 Tahun 1984 tidak digunakan sebagai rujukan.
"Ini nampak ya, kalau kita tidak melakukan perubahan itu akan ada di ranah kultur. Ini juga kalau kita tidak mengubah budayanya kan sulit," ujarnya lagi.
Menurut Budi, masyarakat sebaiknya mengubah isi dari kebijakannya, kemudian secara struktur seperti apa, apakah pengambil kebijakan kemudian mengedepankan kebijakan yang kondusif bagi perempuan.
Oleh karena itu, Budi menegaskan budaya (dalam hal ini yang membahayakan perempuan) memang harus diperangi.
"Komnas Perempuan cukup prihatin dengan tradisi atau nudaya seperti itu yang masih dilestarikan di tengah-tengah kita ingin menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual," kata dia.
Dia juga sangat menyayangkan bahwa kejadian tersebut ada saat periode Hari Anti Kekerasan atau HAM yakni pada 25 November -10 Desember 2019.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR