Belum lama ini viral video diduga bagian dari tradisi kawin tangkap di Sumba, NTT. Kenapa tradisi ini mendapatkan kritik dari Komnas Perempuan?
Intisari-Online.com -Belum lama ini viral sebuah video dengan narasi tradisi kawin tangkap di Sumba Barat Daya, NTT.
Video itu pun ramai di media sosial.
Dalam video itu tampak sejumlah pemuda diduga "menculik" wanita dan membawanya menggunakan mobil.
"Viral aski kawin tangkap atau paksa wanita di Sumba Barat Daya. Sebuah video viral di media sosial yang menunjukkan praktik kawin tangkap atau kawin paksa di Sumbar Barat Daya, NTT, Kamis (7/9)," keterangan sebuah akun Instagram.
Menurut keteranganKapolres Sumba Barat Daya AKBP Sigit Harimbawan, peristiwa tersebut terjadi pada Kamis (7/9/2023) sekitar pukul 10.00 Wita di Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.
Awalnya korban yang berisial DM (20) diberitahu pamannya bahwa terjadi keributan di rumah budaya.
Korban dan pamannnya kemudian pergike lokasi tersebut.
Sesampainya di pertigaan Wowara, Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, paman korban turun dari kendaraan untuk membeli rokok.
"Tak beberapa lama sejumlah pelaku dan rombongan sebanyak 20 orang langsung melakukan penculikan terhadap korban dan membawa korban ke rumah milik pelaku," kata Sigit, kepada Kompas.com, Jumat (8/9/2023).
Korban lalu dibawa oleh pelaku ke Kampung Erunaga, Desa Wee Kura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.
Polisi dariPolres Sumba Barat Daya dan Polsek Wewewa Barat kemudian melakukan penelusuran.
Hasilnya, empat tersangka berhasil ditangkap petugas pada Kamis (7/9/2023), tak lama setelah laporan kejadian.
Mereka ditangkap di Kampung Erunaga Desa Wee Kura, Kecamatan Kota Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya sekitar pukul 14.00 Wita.
Empat tersangka berinisial YT (20) yang hendak dikawinkan bersama orang tua kandungnya LP (50), juru bicara (45), dan sopir kendaraan pikap, HT (25).
Dalam penangkapan tersebut, polisi juga menemukan korban dalam keadaan sehat.
Berdasarkan keterangan tersangka, Sigit mengatakan, pelaku dan korban saling mengenal.
Keduanya memiliki hubungan dan sudah berpacaran.
Menurut Sigit, motif pelaku melakukan aksi kawin tangkap untuk mengajak korban menikah dan tidak ada motif lain.
Tradisi kawin tangkap di Sumba dikenal dengan Padeta Mawinne.
Menurut Jurnal Tradisi Kawin Tangkap di Sumba, NTT: Perspektif FIlsafat Moral Emmauel Kant karya Laurensius Bembot, Donatus Sermada (2022), kawin tangkap adalah salah satu tradisi pernikahan di Sumba, khususnya di wilayah pedalaman seperti di Kodi dan Wawewa.
Masyarakat Sumba meyakini bahwa tradisi kawin tangkap merupakan bagian dari budaya yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka.
Menurut beberapa sumber, kawin tangkap biasanya dilakukan oleh keluarga calon pengantin pria yang tak bisa membayar belis tinggi.
Dalam tradisi ini biasanya calon mempelai perempuan sudah didandani sedemikian rupa, pun begitu dengan calon pengantin pria.
Dalam prosesnya, calon pengantin wanita itu kemudian "ditangkap" dan dibawa ke rumah keluarga calon pengantin pria.
Setelah itu, pihat pria akan mendatangi rumah rumah pengantin wanita dengan membawa parang dan kuda sebagai tanda permohonan maaf.
Tapi seiring waktu, tradisi ini disebut melenceng dari kitahnya.
Bahkan sejak2020, tradisi ini menimbulkan polemik.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak memandang, tradisi kawin tangkap merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan berkedok pada budaya.
Hal serupa juga disampaikan Komnas Perempuan yang menilai bahwa tradisi kawin tangkap merupakan bentuk kejahatan pelecehan seksual terhadap perempuan berupa pemaksaan perkawinan.
Kritik dari Komnas Perempuan
Pada 2019 lalu juga terjadi kejadian serupa.
Terkait hal itu, Komnas Perempuan langsung mengeluarkan pernyataannya.
Ketika itu,Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni mengatakan bahwa tradisi kawin tangkap tergolong dalam kekerasan.
"Itu kan memang kekerasan, nah kekerasan ini yang berbasis budaya patriarki," ujar Budi kepada Kompas.com, Senin (9/12/2019).
Menurutnya, adanya budaya patriarki ini dapat menjelma menjadi banyak hal dan terus menggema di lingkungan kita.
Dirinya pun mempertanyakan apakah budaya kekerasan terhadap perempuan akan terus dibiarkan.
Pelestarian budaya menurutnya harus dibedakan dengan kekerasan terhadap perempuan.
"Jadi jangan kemudian itu kan budaya, misalnya budaya Indonesia, tapi kita harus melihat itu kan kekerasan bukan budaya yang tidak bisa diganti, budayanya bisa diganti dengan yang lebih setara, lebih egaliter," lanjut dia.
Tak hanya itu, Budi mengaku bahwa pihaknya telah mengulas isu-isu seputar budaya-budaya di Indonesia yang membahayakan kaum perempuan.
Misalnya, tradisi sunat perempuan dan nikah anak.
Kedua budaya tersebut dinilai praktik-praktik budaya yang juga merugikan perempuan.
Tak hanya itu, dalam video viral tersebut juga memperlihatkan adanya pemaksaan terhadap perempuan, yang menurut Budi, merupakan adanya kekerasan fisik.
"Kalau mau dilihat konstruksi ya secara sosial sudah tidak menempatkan perempuan sebagai subyek, sehingga merendahkan perempuan dari harkat dan martabatnya," ujar Budi.
Budi menyampaikan bahwa sekalipun itu atas nama budaya, kawin tangkap atau kawin paksa itu akan ada dalam usulan salah satu kekerasan seksual di UU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Di sisi lain, terkait tradisi pernikahan yang merugikan kaum perempuan, yakni usia calon pengantin perempuan minimal 19 tahun di mana asumsi usia tersebut sudah tidak pada kategori anak.
Meski begitu, bukan berarti dapat semena-mena terhadap tubuh perempuan.
Menyoal kasus tersebut, Budi mengungkapkan bahwa terlihat sekali ratifikasi CEDAW (Convention of the Elimination of all Forms of Discrimination againts Women), atau penghapusan destinasi terhadap perempuan yang tertuang dalam Nomor 7 Tahun 1984 tidak digunakan sebagai rujukan.
"Ini nampak ya, kalau kita tidak melakukan perubahan itu akan ada di ranah kultur. Ini juga kalau kita tidak mengubah budayanya kan sulit," ujarnya lagi.
Menurut Budi, masyarakat sebaiknya mengubah isi dari kebijakannya, kemudian secara struktur seperti apa, apakah pengambil kebijakan kemudian mengedepankan kebijakan yang kondusif bagi perempuan.
Oleh karena itu, Budi menegaskan budaya (dalam hal ini yang membahayakan perempuan) memang harus diperangi.
"Komnas Perempuan cukup prihatin dengan tradisi atau nudaya seperti itu yang masih dilestarikan di tengah-tengah kita ingin menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual," kata dia.
Dia juga sangat menyayangkan bahwa kejadian tersebut ada saat periode Hari Anti Kekerasan atau HAM yakni pada 25 November -10 Desember 2019.