Tambang ini menggunakan sistem penambangan bawah tanah dengan metode ruang dan pilar.
Para pekerja tambang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Mereka bekerja dengan kondisi yang sangat berat dan berbahaya. Banyak pekerja yang meninggal karena kecelakaan kerja atau penyakit akibat debu batu bara.
Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto mencapai puncak produksinya pada tahun 1930, dengan menghasilkan lebih dari 620.000 ton batu bara per tahun.
Tambang ini dapat memenuhi 90% kebutuhan energi di Hindia Belanda saat itu.
Selain itu, tambang ini juga mengekspor batu bara ke berbagai negara di Asia dan Eropa.
Setelah Indonesia merdeka, tambang ini dikelola oleh berbagai badan usaha milik negara (BUMN), seperti Direktorat Pertambangan (1945-1961), PN Tambang Batubara Ombilin (1961-1968), PN Tambang Batubara (1968-1984), Perum Tambang Batubara (1984-1990), dan PT Tambang Batubara Bukit Asam (1990-sekarang).
Pada tahun 1976, tambang ini mencatat produksi tertinggi sepanjang sejarahnya dengan menghasilkan 1.201.846 ton batu bara per tahun.
Pelestarian Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto
Pada tahun 2002, cadangan batu bara di tambang terbuka Ombilin mulai menipis.
Hal ini menyebabkan penurunan produksi dan pendapatan dari tambang ini.
Baca Juga: Telaga Said, Saksi Bisu Peristiwa Penemuan Minyak Pertama di Indonesia pada 1885
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR