Intisari-online.com - Nikel adalah salah satu komponen vital dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, yang merupakan teknologi masa depan yang ramah lingkungan.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 52% dari total cadangan nikel global.
Hal ini membuat Indonesia berpotensi menjadi "raja" baterai kendaraan listrik dunia, jika mampu mengolah nikel menjadi produk bernilai tambah tinggi.
Namun, ambisi Indonesia untuk menjadi produsen baterai lithium terbesar ketiga di dunia pada tahun 2027 atau 2028 mendatang mendapat tantangan dari sejumlah negara, khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Kedua blok negara ini mengincar nikel Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri baterai mereka sendiri.
Uni Eropa telah menggugat Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2020 lalu, terkait kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 2020.
Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong hilirisasi nikel di dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan pendapatan negara.
Namun, Uni Eropa menganggap kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme dan diskriminasi terhadap produk impor mereka.
Pada Oktober 2022 lalu, panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO memutuskan bahwa Indonesia kalah dalam gugatan tersebut.
Alasannya, industri hilir nikel di Indonesia dianggap belum matang dan tidak bisa menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk mendukung industrialisasi di Indonesia.
Sementara itu, Amerika Serikat juga berupaya menguasai pasokan nikel global, dengan mengeluarkan peraturan baru yang menetapkan bahwa produk nikel yang masuk ke AS harus berasal dari negara-negara yang memiliki hubungan baik dengan AS.
Baca Juga: 15 Pertanyaan tentang Kerajaan Islam di Indonesia Beserta Jawabannya
Hal ini berarti bahwa produk nikel dari Indonesia, yang merupakan sekutu China, akan sulit masuk ke pasar AS.
Peraturan ini juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan AS terhadap China, yang merupakan produsen baterai terbesar di dunia.
Dengan adanya tekanan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, bagaimana nasib industri baterai di Indonesia?
Apakah Indonesia akan menyerah dan membuka kembali ekspor bijih nikel?
Ataukah Indonesia akan tetap berjuang untuk membangun industri hilir nikel yang mandiri dan berdaya saing?
Menurut analis ekonomi dan energi Faisal Basri, Indonesia harus tetap konsisten dengan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel, karena itu merupakan langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat.
Ia menilai bahwa gugatan Uni Eropa dan peraturan Amerika Serikat tidak akan berdampak signifikan terhadap industri baterai di Indonesia, karena pasar utama baterai adalah Asia, khususnya China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
"Indonesia tidak perlu takut dengan gugatan Uni Eropa atau peraturan Amerika Serikat. Kita punya pasar besar di Asia, yang merupakan konsumen utama kendaraan listrik. Kita juga punya mitra strategis seperti China, yang sudah berinvestasi besar-besaran di industri hilir nikel kita," kata Faisal dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.
Faisal menambahkan bahwa Indonesia harus mempercepat pengembangan industri hilir nikel, mulai dari smelter hingga pabrik baterai.
Ia menyarankan agar pemerintah memberikan insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang mau berinvestasi di sektor ini, serta memfasilitasi kerja sama antara perusahaan lokal dan asing.
"Indonesia harus cepat-cepat membangun industri hilir nikel, karena itu merupakan peluang emas untuk menjadi raja baterai kendaraan listrik dunia. Kita harus memberikan kemudahan dan kepastian kepada investor, baik lokal maupun asing, agar mereka mau berinvestasi di sektor ini. Kita juga harus membangun kerja sama antara perusahaan BUMN dan swasta, serta antara perusahaan Indonesia dan asing, agar kita bisa saling menguntungkan," ujar Faisal.
Baca Juga: Punya Cadangan Nikel Terbanyak di Dunia, Ini Alasan Indonesia Dibutuhkan Dunia di Masa Depan
Dengan demikian, Indonesia dapat menghadapi ancaman dari Uni Eropa dan Amerika Serikat dengan cara yang cerdas dan berani.
Indonesia tidak perlu takut atau mundur dari cita-citanya untuk menjadi raja baterai kendaraan listrik dunia.
Indonesia harus tetap optimis dan percaya diri bahwa nikel Indonesia adalah aset berharga yang dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi bangsa.