Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan beberapa perusahaan asing, seperti LG Chem dari Korea Selatan, CATL dari China, dan Tesla dari Amerika Serikat.
Perjanjian ini meliputi pembangunan pabrik baterai dan pengembangan sumber daya manusia.
Meskipun demikian, China masih berupaya untuk mendapatkan akses ke cadangan nikel Indonesia dengan berbagai cara.
Salah satunya adalah dengan melakukan investasi langsung atau akuisisi terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan nikel lokal.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), China merupakan investor asing terbesar di sektor pertambangan Indonesia, dengan nilai investasi mencapai 4,7 miliar dolar AS pada tahun 2020.
Selain itu, China juga berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia melalui diplomasi atau lobi-lobi.
Misalnya, pada tahun 2019, China mengajukan permintaan kepada Indonesia untuk menunda larangan ekspor bijih nikel mentah hingga tahun 2022.
Permintaan ini ditolak oleh Indonesia dengan alasan bahwa larangan tersebut sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dengan adanya persaingan antara China dan negara-negara lain untuk mendapatkan cadangan nikel Indonesia, maka Indonesia harus berhati-hati dalam mengelola sumber daya alamnya.
Indonesia harus menjaga kedaulatan dan kesejahteraan rakyatnya, serta menjaga keseimbangan lingkungan dan pembangunan.
Indonesia juga harus memperkuat kerjasama regional dan internasional untuk menghindari konflik atau tekanan dari negara-negara besar.
Baca Juga: Sudah Berani 'Lawan' IMF dan WTO, Cadangan Nikel Indonesia Hanya Cukup untuk 13 Tahun?
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR