Intisari-Online.com - Nikel adalah salah satu komoditas yang memiliki nilai strategis bagi Indonesia.
Nikel digunakan sebagai bahan baku industri baterai kendaraan listrik, yang merupakan salah satu sektor prioritas pemerintah.
Namun, cadangan nikel Indonesia disebutkan tidaklah melimpah, bahkan ada yang menyebutkan hanya cukup untuk 13 tahun.
Padahal, Indonesia harus menghadapi tekanan dari lembaga internasional seperti IMF dan WTO yang mempertanyakan kebijakan larangan ekspor bijih nikel dan hilirisasi nikel yang diterapkan sejak 2020.
Namun, benarkah cadangan nikel Indonesia hanya bisa 'dikeruk' dalam waktu sependek itu?
'Serangan' IMF dan WTO
Dalam sebuah laporan, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mengusulkan agar Indonesia melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan hilirisasi.
Selain itu, IMF juga meminta Indonesia mempertimbangkan untuk secara bertahap mencabut kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel yang telah berlaku sejak 1 Januari 2020.
Laporan tersebut berjudul IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia.
Sementara itu, pada bulan Desember 2022, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa pemerintah akan mengajukan banding setelah kalah dari Uni Eropa dalam perkara larangan ekspor bijih nikel (nikel ore) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Perkara ini bermula dari gugatan yang diajukan oleh Uni Eropa ke WTO pada tahun 2021 terkait dengan kebijakan Indonesia yang melarang ekspor nikel dalam bentuk mentah sejak tahun 2020.
Baca Juga: Punya Cadangan Nikel Terbanyak di Dunia, Sebenarnya Berapa Cadangan Nikel yang Dimiliki Indonesia?
KOMENTAR