Intisari-online.com - Pada tanggal 29 Juli 1947, Indonesia mencatat sejarah penting dalam perjuangan kemerdekaannya.
Pada hari itu, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) melancarkan serangan udara pertama kali terhadap markas tentara Belanda di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.
Serangan ini merupakan balasan atas Agresi Militer Belanda I yang dimulai pada 21 Juli 1947.
Serangan udara ini melibatkan tiga pesawat peninggalan Jepang yang berhasil diperbaiki dan dimodifikasi oleh para teknisi AURI.
Ketiga pesawat tersebut adalah Yokosuka K5Y, Mitsubishi Ki-51, dan Nakajima Ki-43.
Di Indonesia, ketiga pesawat ini diberi nama Cureng, Guntei, dan Hayabusa.
Cureng adalah pesawat latih bersayap ganda yang memiliki dua tempat duduk depan dan belakang tanpa atap.
Pesawat ini mampu membawa bom seberat 100 kg dan bom molotov di dalam kotak kayu.
Dua pesawat Cureng yang terlibat dalam serangan udara pertama AURI adalah Cureng No. 1 yang diterbangkan oleh Kadet Suharnoko Harbani dan Cureng No. 2 yang diterbangkan oleh Kadet Sutarjo Sigit.
Guntei adalah pesawat pengebom ringan yang memiliki dua tempat duduk depan dan belakang dengan atap tertutup.
Pesawat ini mampu membawa bom seberat 200 kg dan dilengkapi dengan senapan mesin kaliber 7,7 mm di bagian depan dan belakang.
Baca Juga: Inilah 4 Peristiwa Polisi Tembak Polisi, Fenomena yang Mengguncang Institusi Kepolisian Indonesia
Pesawat Guntei yang terlibat dalam serangan udara pertama AURI adalah Guntei No. 1 yang diterbangkan oleh Kadet Mulyono.
Hayabusa adalah pesawat tempur bermesin tunggal dengan sayap rendah yang memiliki satu tempat duduk dengan atap tertutup.
Pesawat ini mampu membawa bom seberat 500 kg dan dilengkapi dengan dua senapan mesin kaliber 12,7 mm di bagian depan.
Sayangnya, pesawat Hayabusa yang dimiliki oleh AURI mengalami kerusakan pada synchronization gear sehingga tidak dapat ikut dalam serangan udara pertama AURI.
Ketiga pesawat tersebut berhasil mengejutkan Belanda dengan mengebom markas-markas mereka di tiga kota.
Meskipun tidak menimbulkan kerusakan besar, serangan udara ini memberikan dampak psikologis bagi Belanda dan semangat juang bagi Indonesia.
Serangan udara ini juga menunjukkan bahwa AURI memiliki kemampuan dan keberanian untuk melawan penjajah.
Untuk mengenang jasa-jasa para penerbang AURI dan pesawat-pesawat legendaris yang mereka gunakan, tanggal 29 Juli ditetapkan sebagai Hari Bhakti TNI AU.
Beberapa pesawat Cureng dan Guntei juga dipamerkan di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala di Yogyakarta sebagai saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia.
Serangan udara pertama AURI tidak hanya menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan Indonesia, tetapi juga menginspirasi generasi penerbang berikutnya.
Salah satu contohnya adalah Komodor Udara (Anumerta) Leo Wattimena, yang dikenal sebagai pahlawan nasional dan bapak penerbangan tempur Indonesia.
Baca Juga: Di Balik Peristiwa Polisi Tembak Polisi di Bogor, Begini Cara Polri Menangani Kasus Internalnya
Leo Wattimena lahir pada tanggal 29 Juli 1925 di Ambon, Maluku.
Ia merupakan salah satu anggota AURI yang ikut dalam serangan udara pertama AURI pada tahun 1947.
Saat itu, ia menjabat sebagai komandan skuadron Cureng dan bertanggung jawab atas perawatan dan operasi pesawat-pesawat Cureng.
Leo Wattimena terus berjuang melawan Belanda hingga Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948.
Ia juga ikut dalam Operasi Trikora pada tahun 1961 untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda.
Pada tanggal 18 Desember 1961, ia gugur dalam sebuah misi pengeboman di Biak bersama dengan tiga rekannya.
Atas jasa-jasanya, Leo Wattimena dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 1964 oleh Presiden Soekarno.
Ia juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara Pattimura di Ambon dan Akademi Angkatan Udara di Yogyakarta.
Selain itu, ia juga menjadi tokoh utama dalam film Guntur Soekarno Putra yang dirilis pada tahun 2019.
Leo Wattimena adalah salah satu contoh dari banyak penerbang AURI yang berani mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan Indonesia.
Mereka mewariskan semangat juang dan profesionalisme yang harus diteladani oleh generasi muda Indonesia.
Mereka juga membuktikan bahwa pesawat-pesawat legendaris seperti Cureng, Guntei, dan Hayabusa tidak hanya sekadar alat, tetapi juga simbol dari kebanggaan dan kecintaan terhadap tanah air.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR