Dengan kata lain, ia sudah tak layak lagi menjadi pusat pemerintahan.
Setelah melakukan serangkaian pencarian, dipilihlah Sala sebagai lokasi keraton baru.
Pada 17 Februari 1745, keraton baru di Desa Sala itu secara resmi digunakan sebagai ibu kota baru Mataram Islam.
Kelak, kita mengenal tempat itu sebagai Surakarta.
Ketika dalam pelarian ke Ponorogo, Pakubuwono II bertemu dengan Kiai Ageng Muhammad Besari, seorang ulama kharismatik di Desa Tegalsari.
Kedatangan itu ternyata berdasarkan saran dari sejumlah orang dekat sunan.
Dia memohon kepada Kiai Ageng supaya menjadi perantara antara dirinya dengan Allah.
Pakubuwono II juga memintanya berdoa supaya mendapatkan kembali takhtanya yang direbut Raden Mas Garendi sang Amangkurat V.
Tak sekadar meminta, sunan juga bersumpah, jika takhtanya kembali, dia akan menjadikan Tegalsari sebagai pusat dan tempat rujukan belajar Islam di Mataram.
Sunan juga akan menyerahkan pengaturan desa kepada Kiai Ageng dan keturunannya.
Lebih dari itu, Tegalsari akan dijadikan desa perdikan, yang dibebaskan dari membayar pajak dan pengiriman upeti.
Tak lama kemudian, seperti disebut di atas, Amangkurat V berhasil diusir dari Keraton Kartasura, dan Pakubuwono II mendapatkan kembali takhtanya.
Dia pun menepati janjinya kepada Kiai Ageng Muhammad besar, syaratnya Kiai Ageng tetap mengajar ajaran Nabi Muhammad.
Status Desa Tegalsari sebagai desa Perdikan bahkan bertahan hingga wilayah Ponorogo dan sekitarnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1830.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR