Karena Kalender Jawa, Raja Mataram Terbesar Sultan Agung Mendapat Gelar Wali Raja Mataram Dari Para Ulama

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Lukisan Sultan Agung oleh Sudjojono. Sultan Agung sendiri juga mendapat gelar Wali Raja Mataram oleh para ulama karena jasanya menyebarkan Islam tanpa menghapus tradisi Jawa.
Lukisan Sultan Agung oleh Sudjojono. Sultan Agung sendiri juga mendapat gelar Wali Raja Mataram oleh para ulama karena jasanya menyebarkan Islam tanpa menghapus tradisi Jawa.

Lukisan Sultan Agung oleh Sudjojono. Sultan Agung sendiri juga mendapat gelar Wali Raja Mataram oleh para ulama karena jasanya menyebarkan Islam tanpa menghapus tradisi Jawa.

Intisari-Online.com -Sebagai raja terbesar Mataram Islam, Sultan Agung tak hanya dikenal karena kebijakan ekspansionisnya.

Sultan Agung, yang berkuasa dari 1613 hingga 1645, juga disebut berhasil menyebarkan agama Islam tanpa harus menghapus tradisi lama.

Hal itu terwujud, salah satunya, dalam bentu Kalender Jawa.

Karena itulah Sultan Agung dianugerahi gelar Wali Raja Mataram oleh para ulama.

Pada 1633 Masehi, atau pada 1555 tahun Jawa, Sultan Agung mengadakan selametan secara besar-besaran.

Dalam pesta tersebut, dia juga menetapkan Satu Suro sebagai tanda Tahun Baru Jawa.

Keputusan tersebut diambil setelah dilakukan perpaduan kalender Hijriah dan kalender Jawa.

Keputusan juga diambil dengan memadukan sistem penanggalan Islam, Hindu, dan sedikit pengaruh penanggalan Julian dari Barat.

Setelah mengambil keputusan tersebut, Sultan Agung mengeluarkan sebuah dekrit.

Dekrit tersebut menyatakan, adanya penggantian penanggalan Saka yang berbasis putaran matahari dengan kalender Qamariah yang berbasis putaran bulan.

Adanya perubahan tersebut membuat setiap angka tahun Jawa diteruskan dan berkesinambungan dengan tahun Saka.

Sementara itu,penetapan 1 Muharam sebagai awal kalender Islam telah dilakukan sejak zaman Khalifah Umar bin Khatab.

Macam-macam ritual dan tradisi menyambut 1 Suro dan Tahun Baru Islam di Jawa

1. Kirab kebo bule

Salah satu tradisi menyambut malam satu Suro yang paling banyak dikenal oleh masyarakat adalah arak-arakan atau kirab hewan kerbau yang bernama kebo bule atau Kebo Kiai Slamet.

Kebo bule bukan sembarangan, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik Keraton Surakarta Hadiningrat, seperti dikutip dari situs Rumah Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Leluhur hewan kerbau yang kulitnya berwarna putih kemerahan itu, dulunya merupakan hewan kesayangan Paku Buwono II.

2. Jamasan pusaka

Jamasan pusaka merupakan ritual mencuci benda pusaka pada bulan Suro.

Tradisi ini masih dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta Hadiningrat, dan Pura Mangkunegaran.

Ritual jamasan pusaka selalu dilakukan oleh pihak keraton pada saat memasuki tahun baru Jawa.

Pada Keraton Yogyakarta, ritual jamasan pusaka ini tidak harus dilakukan pada satu Suro atau awal tahun.

Jamasan pusaka dapat digelar sepanjang bulan Suro.

Ritual mencuci benda pusaka ini memiliki makna tersendiri, yaitu membersihkan diri menyambut masa yang akan datang.

Namun, jamasan pusaka ini umumnya digelar secara tertutup, alias tidak bisa dilihat oleh masyarakat umum.

3. Mubeng beteng

Mubeng beteng atau Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng merupakan ritual malam satu Suro yang digelar oleh Keraton Yogyakarta.

Dalam tradisi ini, peserta ritual akan berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Saat menjalani ritual, peserta dilarang berbicara atau tapa bisu.

Ritual mubeng beteng ini biasanya dilakukan pada tengah malam hingga dini hari malam satu Suro.

Para abdi dalem dan warga peserta ritual berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Makna mubeng beteng adalah usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan serta membersihkan dan mengendalikan diri dari segala nafsu duniawi.

4. Tapa bisu

Tapa bisu merupakan ritual dalam kirab, baik di Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta Hadiningrat, dan Pura Mangkunegaran.

Tapa bisu berarti selama menjalani ritual, peserta tidak diperbolehkan berbicara.

Makna dari tapa bisu adalah untuk menjaga ucapan peserta kirab sehingga kirab tetap berlangsung secara sakral.

5. Kirab pusakadalem

Kirab pusakadalem merupakan tradisi yang digelar di Pura Mangkunegaran, berdasarkan informasi dari Kompas.com (9/8/2021).

Dalam tradisi ini, keluarga Pura Mangkunegaran, abdi dalem, serta masyarakat menggelar arak-arakan atau kirab pusaka mengelilingi tembok luar Pura Mangkunegaran sebanyak satu kali.

Kirab pusakadalem oleh Pura Mangkunegaran digelar pada malam satu Suro.

6. Petik laut

Petik laut merupakan ritual yang digelar di Pantai Lampon, Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.

Dalam tradisi ini para nelayan mengisi perahu kecil dengan sesajen berupa kepala sapi serta hasil bumi dan laut.

Perahu itu kemudian dilarung ke laut dari Pantai Lampon.

Selain melarung sesaji, masyarakat setempat juga menggelar selamatan. Ritual petik laut tersebut diselenggarakan pada satu Suro.

Makna petik laut ini adalah ungkapan rasa syukur atas hasil laut yang didapat para nelayan selama setahun, sekaligus sebuah harapan atas keselamatan dan rezeki yang melimpah pada tahun mendatang.

7. Sedekah laut

Ritual serupa juga digelar oleh masyarakat sekitar Pantai Baron dan Pantai Kukup, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

Tradisi tersebut disebut dengan sedekah laut.

Tradisi sedekah laut dimulai dengan selamatan atau kenduri yang diikuti oleh seluruh warga yang mencari rezeki di sekitar pantai.

Selesai kenduri, makanan dan gunungan yang berisi hasil bumi dibawa oleh warga dengan mengenakan pakaian tradisional.

Sesampainya di tepi pantai, sesepuh atau orang yang dituakan oleh warga sekitar membuka ritual dengan doa.

Dengan menabur bunga serta beberapa sesaji, empat gunungan kemudian dinaikan diatas kapal nelayan untuk selanjutnya dibawa menuju tengah laut.

Makna dari ritual ini adalah wujud syukur sekaligus harapan untuk rezeki yang lebih baik pada tahun mendatang.

Artikel Terkait