Pada 2011, pasukan Amerika Serikat dan koalisi menarik diri dari Irak, meninggalkan negara itu dengan pemerintahan yang lemah, korup, dan tidak efektif.
Pemerintahan Nuri al-Maliki yang didominasi oleh Syiah dianggap diskriminatif terhadap Sunni dan Kurdi, sehingga memperdalam ketidakpuasan dan ketidakstabilan di Irak.
Pada 2014, kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) muncul sebagai ancaman baru bagi Irak.
ISIS berhasil merebut sebagian besar wilayah utara dan barat Irak, termasuk kota Mosul yang merupakan kota terbesar kedua di Irak.
ISIS mendeklarasikan berdirinya khilafah Islam di wilayah yang mereka kuasai, dan melakukan berbagai kekejaman terhadap warga Irak yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.
Untuk menghadapi ISIS, Irak mendapat bantuan dari koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Iran, milisi Syiah, Kurdi Peshmerga, dan kelompok-kelompok Sunni moderat.
Setelah bertahun-tahun berperang melawan ISIS, Irak akhirnya berhasil membebaskan seluruh wilayahnya dari cengkeraman kelompok teroris itu pada akhir 2017.
Namun, kemenangan atas ISIS tidak menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang dihadapi oleh Irak.
Negara itu masih menghadapi tantangan-tantangan besar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan.
Warga Irak masih mengeluhkan ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran, korupsi, kurangnya layanan publik, dan pengaruh asing yang berlebihan di negara mereka.
Pada 2019-2020, gelombang besar protes meletus di seluruh Irak, menuntut reformasi politik dan perbaikan kondisi hidup.
Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Jepang Menyerah Tanpa Syarat Kepada Sekutu
Ribuan orang turun ke jalan-jalan untuk menyuarakan kemarahan mereka terhadap pemerintah yang gagal memenuhi harapan mereka setelah kejatuhan Saddam Hussein.
Protokol ini ditindas dengan keras oleh pasukan keamanan dan kelompok-kelompok bersenjata pro-pemerintah, sehingga menewaskan lebih dari 600 orang dan melukai ribuan lainnya.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR