Intisari-online.com -Presiden Irak kelima, Sadam Husein, adalah seorang politisi yang juga menjadi pemimpin Partai Ba'ath yang berbasis di Irak.
Merupakan sebuah partai politik Arab yang berhaluan nasionalis dan sosialis.
Ia berkuasa di Irak setelah melakukan kudeta terhadap Presiden Abdul Rahman Arif pada 1968.
Kemudian menggantikan Ahmed Hassan al-Bakr sebagai presiden pada 1979.
Selama lebih dari dua puluh tahun memimpin, ia telah membunuh banyak orang Kurdi di utara Irak dan Muslim Syiah di selatan Irak.
Sadam Husein juga terlibat dalam beberapa perang dengan negara-negara tetangga dan dunia internasional.
Seperti Perang Iran-Irak (1980-1988), Invasi Kuwait (1990), Perang Teluk (1991), dan Perang Irak (2003).
Ia dikenal sebagai seorang diktator yang menentang pengaruh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Timur Tengah.
Pada 9 April 2003, pasukan Amerika Serikat dan koalisi berhasil mengambil alih Baghdad, ibu kota Irak, dan menjatuhkan rezim Sadam Husein.
Sadam Husein sendiri berhasil lolos dan bersembunyi selama beberapa bulan, hingga akhirnya ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat pada 13 Desember 2003 di dekat desanya, Tikrit.
Sadam Husein kemudian dihadapkan ke pengadilan khusus Irak atas berbagai tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida.
Baca Juga: Lewat Festival Lestari 5, Kabupaten Sigi Raih Pendanaan hingga 2,65 Juta Dollar AS
Pada 5 November 2006, ia dinyatakan bersalah atas keterlibatannya dalam pembantaian 148 orang Syiah di Dujail pada 1982, dan dihukum mati dengan cara digantung.
Hukuman itu dilaksanakan pada 30 Desember 2006 di Camp Justice, Baghdad.
Namun, harapan Amer dan jutaan warga Irak lainnya untuk hidup damai dan sejahtera setelah kejatuhan Saddam Hussein segera sirna.
Irak segera tenggelam dalam kekacauan dan kekerasan yang disebabkan oleh pemberontakan, terorisme, dan perselisihan sektarian.
Pasukan Amerika Serikat dan koalisi tidak mampu mengatasi situasi yang semakin memburuk di Irak.
Mereka juga melakukan kesalahan fatal dengan membubarkan angkatan bersenjata Irak dan melarang anggota Partai Ba'ath dari jabatan pemerintahan.
Langkah ini meninggalkan ratusan ribu orang tanpa pekerjaan dan merasa terasingkan dari proses politik pasca-Saddam Hussein.
Banyak mantan perwira militer dan anggota Partai Ba'ath yang kemudian bergabung dengan kelompok-kelompok pemberontak dan ekstremis, seperti Al-Qaeda di Irak yang dipimpin oleh Abu Musab al-Zarqawi.
Kelompok ini melakukan serangan-serangan brutal terhadap pasukan koalisi, pemerintah Irak, dan warga sipil, terutama dari kelompok Syiah yang mayoritas di Irak.
Pada 2006, Irak terperosok dalam perang saudara antara Sunni dan Syiah, yang memicu pembunuhan massal, pembantaian, pengusiran paksa, dan penghancuran tempat-tempat ibadah.
Ribuan orang tewas atau mengungsi akibat kekerasan sektarian ini.
Baca Juga: Di Balik Peristiwa Idul Adha, Begini Dunia Merayakan Hari Raya Kurban
Pada 2011, pasukan Amerika Serikat dan koalisi menarik diri dari Irak, meninggalkan negara itu dengan pemerintahan yang lemah, korup, dan tidak efektif.
Pemerintahan Nuri al-Maliki yang didominasi oleh Syiah dianggap diskriminatif terhadap Sunni dan Kurdi, sehingga memperdalam ketidakpuasan dan ketidakstabilan di Irak.
Pada 2014, kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) muncul sebagai ancaman baru bagi Irak.
ISIS berhasil merebut sebagian besar wilayah utara dan barat Irak, termasuk kota Mosul yang merupakan kota terbesar kedua di Irak.
ISIS mendeklarasikan berdirinya khilafah Islam di wilayah yang mereka kuasai, dan melakukan berbagai kekejaman terhadap warga Irak yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.
Untuk menghadapi ISIS, Irak mendapat bantuan dari koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Iran, milisi Syiah, Kurdi Peshmerga, dan kelompok-kelompok Sunni moderat.
Setelah bertahun-tahun berperang melawan ISIS, Irak akhirnya berhasil membebaskan seluruh wilayahnya dari cengkeraman kelompok teroris itu pada akhir 2017.
Namun, kemenangan atas ISIS tidak menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang dihadapi oleh Irak.
Negara itu masih menghadapi tantangan-tantangan besar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan.
Warga Irak masih mengeluhkan ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran, korupsi, kurangnya layanan publik, dan pengaruh asing yang berlebihan di negara mereka.
Pada 2019-2020, gelombang besar protes meletus di seluruh Irak, menuntut reformasi politik dan perbaikan kondisi hidup.
Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Jepang Menyerah Tanpa Syarat Kepada Sekutu
Ribuan orang turun ke jalan-jalan untuk menyuarakan kemarahan mereka terhadap pemerintah yang gagal memenuhi harapan mereka setelah kejatuhan Saddam Hussein.
Protokol ini ditindas dengan keras oleh pasukan keamanan dan kelompok-kelompok bersenjata pro-pemerintah, sehingga menewaskan lebih dari 600 orang dan melukai ribuan lainnya.