Perjanjian ini merupakan hasil rekayasa Belanda yang ingin memecah belah rakyat Mataram.
Raden Mas Said menolak perjanjian ini dan melanjutkan perjuangannya seorang diri melawan VOC, Surakarta, dan Yogyakarta.
Ia memiliki moto "tiji tibeh", yaitu mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh (gugur satu, gugur semua, sejahtera satu, sejahtera semua).
Raden Mas Said mengalami banyak pertempuran berdarah selama 16 tahun perjuangannya.
Ia berhasil mengalahkan pasukan VOC di Tuban pada tahun 1752.
Kemudian berhasil menguasai daerah Jawa Timur seperti Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Banyuwangi, hingga Bali.
Ia bahkan sempat mengepung kota Surabaya selama tiga bulan pada tahun 1757.
Namun, pada akhirnya Raden Mas Said harus mengakui kekalahan dan menandatangani Perjanjian Salatiga pada tahun 1757.
Perjanjian ini mengakhiri perlawanan Raden Mas Said dan memberinya wilayah kekuasaan sendiri yang disebut Praja Mangkunegaran.
Raden Mas Said kemudian bergelar Mangkunegara I dan membangun keraton Mangkunegaran di Surakarta.
Ia meninggal pada tahun 1795 dan dimakamkan di Astana Girilayu.
Pangeran Sambernyawa adalah sosok yang kontroversial dalam sejarah Indonesia.
Bagi VOC dan sekutunya, ia adalah pengkhianat yang merusak stabilitas dan perdamaian di Jawa.
Bagi rakyat Mataram, ia adalah pahlawan yang berani melawan penjajah dan membela hak-hak mereka.
Bagi Mangkunegaran, ia adalah pendiri dan leluhur yang menginspirasi generasi-generasi selanjutnya.
Pangeran Sambernyawa adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR