Sejumlah sejarawan meyakini bahwa Mpu Sindok adalah kerabat dekat raja Mataram Kuno karena pernah menjabat sebagai rakryan mapatih i halu dan rakryan mapatih i hino.
Akan tetapi, Poerbatjaraka berargumen bahwa Mpu Sindok naik takhta karena perkawinannya dengan Dyah Kebi, putri Raja Dyah Wawa.
Pendapat itu didasarkan pada isi Prasasti Cunggrang, yang menyebut Rakryan Bawa (Dyah Wawa) sebagai ayah Sri Parameswari Dyah Kebi.
Poerbatjaraka juga mengemukakan alasan lain, yaitu Mpu Sindok bergelar abhiseka yang mengandung unsur dharmma.
Menurut pendapatnya, raja yang bergelar demikian naik takhta karena perkawinan.
Akan tetapi, pendapat Poerbatjaraka tersebut dibantah oleh Stutterheim, yang mengatakan bahwa nama Bawa dalam Prasasti Cunggrang harusnya dibaca Bawang bukan Wawa, karena ada anuswara di atas huruf wa.
Selain itu, Raja Dyah Wawa tidak pernah bergelar Rakai atau Rakryan Wawa, tetapi Rakai Sumba atau Rakai Pangkaja Dyah Wawa.
Lagi pula, kebi berarti nenek, sehingga yang dimaksud di Prasasti Cunggrang adalah Rakryan Bawang Mpu Partha, ayah dari nenek Mpu Sindok.
Nenek Mpu Sindok adalah permaisuri Daksa, yang disebut dalam Prasasti Sugih Manek.
Pada masa Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Watukura Dyah Balitung, Daksa menjabat sebagai rakryan mahamantri i hino.
Jadi, Mpu Sindok tidak perlu menikah dengan putri mahkota untuk dapat menjadi raja Mataram Kuno.
Mpu Sindok memerintah Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur sejak 929 hingga 948.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR