Tujuan dari tunjangan ini adalah untuk mendapatkan dukungan dari para PNS terhadap kabinet yang sedang berkuasa.
Ketika memberikan tunjangan, Kabinet Soekiman memberi uang sekitar Rp125 atau sekitar Rp1.100.000 juta saat ini hingga Rp200 atau sekitar Rp1.750.000 juta di akhir bulan Ramadan.
Selain uang, kabinet Soekiman juga memberi beras sebagai tunjangan lainnya.
Namun, kebijakan tunjangan yang hanya untuk PNS ini ditentang oleh kaum buruh. Mereka juga ingin nasib mereka diperhatikan oleh pemerintah.
Para buruh melakukan mogok kerja pada 13 Februari 1952 dengan menuntut agar pemerintah memberi tunjangan di setiap akhir bulan Ramadan.
Kebijakan dari Kabinet Soekiman ini dianggap tidak adil oleh para buruh. Karena hanya pegawai pemerintah yang mendapatkan tunjangan.
Padahal, pada masa itu, pegawai pemerintah Indonesia masih didominasi oleh para priyayi, ningrat, dan kalangan atas lainnya.
Tentu saja, para buruh merasa tidak setara karena mereka juga bekerja keras untuk perusahaan-perusahaan swasta dan milik negara, tetapi mereka tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Diperluas di era Soeharto
Beruntung, kebijakan tunjangan dari kabinet Soekiman akhirnya menjadi awal mula bagi pemerintah Indonesia untuk menjadikannya anggaran rutin yang akan dikeluarkan negara.
Pada tahun 1994, pemerintah mengeluarkan aturan khusus tentang THR melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.
Baca Juga: ASN, TNI dan Polri Dijamin Hepi, Ini Bocoran Pencairan THR Lebaran 2023
KOMENTAR