Pada 1943, ketika Indonesia diduduki oleh Jepang, Supriyadi mendaftar sebagai anggota PETA (Pembela Tanah Air).
Ini adalah sebuah organisasi milisi yang dibentuk oleh Jepang untuk membantu pertahanan mereka.
Supriyadi ditempatkan di batalyon ke-2 PETA di Blitar dan mendapat pangkat Shodancho (setingkat kapten).
Dia menjadi salah satu perwira PETA yang paling disegani dan dicintai oleh para prajuritnya karena kepemimpinan dan keberaniannya.
Februari 1945, Supriyadi memimpin perlawanan PETA terhadap Jepang di Blitar.
Perlawanan ini dipicu oleh ketidakpuasan para prajurit PETA terhadap perlakuan Jepang yang sewenang-wenang, diskriminatif, dan mengeksploitasi sumber daya Indonesia.
Selain itu, para prajurit PETA juga terinspirasi oleh pidato Jenderal Koiso pada tanggal 7 September 1944 yang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.
Perlawanan ini direncanakan secara rahasia oleh Supriyadi bersama beberapa perwira PETA lainnya, seperti Soeharto (bukan mantan presiden), Soetarjo Kartohadikusumo, Moestopo, dan Sudirman (yang kemudian menjadi Panglima TNI yang kedua).
Mereka berencana untuk membunuh para perwira Jepang saat menghadiri rapat di Hotel Sakura pada tanggal 14 Februari 1945.
Namun rencana ini bocor dan Jepang berhasil menghindari serangan tersebut.
Meskipun demikian, Supriyadi dan pasukannya tetap melancarkan serangan ke markas Kenpeitai (polisi militer Jepang) dan beberapa pos penting lainnya di Blitar.
Mereka berhasil menguasai sebagian besar kota Blitar selama beberapa jam dan menyatakan kemerdekaannya.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR