Advertorial
Intisari-Online.com – Bagaimana pun kita harus berani untuk memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan negara dari cengkeraman kolonialisme, seperti yang dilakukan oleh para pahlawan Nasional Indonesia.
Adalah Mekatilili, seorang wanita yang luar biasa.
Dia memainkan peran penting dalam kemerdekaan Kenya dari cengkeraman pemerintahan kolonial.
Mirip dengan apa yang dilakukan oleh Rosa Parks, hampir 50 tahun kemudian di Amerika Selatan.
Mekatilili wa Menza, nama lengkapnya, bukanlah sembarang wanita, dia bak pembangkit tenaga listrik.
Dia adalah seorang wanita yang didorong oleh keadilan, dan dia memahami perlunya melestarikan praktik budaya.
Mekatilili ‘membangunkan’ masyarakat Pesisir Kenya untuk mengusir kolonial Inggris.
Mekatilili adalah seorang Giriama, salah satu dari sembilan subkelompok komunitas Mijikenda yang berbasis di pesisir Kenya.
Mekatilili wa Menza memimpin orang-orang Giriama untuk membersihkan diri dari eksploitasi dan pemerasan oleh pemerintah kolonial Inggris.
Mekatilili wa Menza, yang merupakan putri dari Mekatilili, menemukan kengerian yang dihadapi komunitasnya sebagai seorang gadis.
Berbasis di wilayah pesisir Kenya, komunitasnya menjadi basis akuisisi budak oleh orang Arab dan Inggris, yang mencari tenaga kerja murah dan kuat untuk pertanian mereka yang luas.
Menariknya, Mekatilili bekerja keras untuk memulihkan Kaya, melansir theafricanhistory.
Kaya adalah tempat berkumpul yang penting bagi Mijikenda untuk berdoa, melakukan ritual, dan hak-hak keagamaan, juga sebagai pusat pemerintahan.
Suku Kaya terletak jauh di dalam hutan dan dianggap tabu bila menebang pohon atau tumbuh-tumbuhan di sekitar daerah ini.
Dari Kaya inilah Mekatilili mampu menggalang masyarakat pesisir untuk menolak pajak yang dipaksakan dan dengan cara Inggris.
Dia membayar harga untuk perang salibnya, juga dituduh sebagai penyihir.
Pada bulan Oktober 1913, Mekatilili dan suaminya Wanje ditangkap dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara, di penjara Kisii, terletak di Kenya Barat.
Namun, dalam 5 bulan, Mekatilili dan suaminya melarikan diri dari penjara dan menemukan jalan pulang.
Ketika menemukannya, Kaya telah dihancurkan dengan bahan peledak, namun dia menemukan Inggris masih memungut pajak.
Inggris juga berencana untuk menyerang tanah subur utara Sungai Sabaki untuk mendirikan pertanian mereka.
Meskipun Mekatilili dan suaminya berhasil ditangkap kembali, momentum pemberontakan telah mencapai kecepatan penuh.
Pada bulan September 1914, Mijikenda menyerang Inggris yang tidak curiga, yang akhirnya menyerah.
Pada tahun 1919, Mekatilili dan suaminya, Wanje, dibebaskan dari penjara untuk membangun kembali Kaya, jiwa komunitas Mijikenda.
Kekuatan seperti yang dimiliki Mekatilili inilah yang dibutuhkan oleh negara itu saat ini.
Sebuah kekuatan dan pemahaman tentang kebanggaan warisan, budaya, dan pengorbanan diri.
Mekatilili meninggal pada tahun 1924, dimakamkan di Bungale, Daerah Pemilihan Magarini, Kabupaten Malindi, Kenya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari