Amir Sjarifuddin, Perdana Menteri Indonesia yang Tandatangani Isi Perjanjian Renville, Salah Satu Pejuang Kemerdekaan yang Justru Berakhir Dihukum Mati

Khaerunisa

Editor

Amir Sjarifuddin, dalam acara sidang KNIP 28 Februari 1946 di Solo.
Amir Sjarifuddin, dalam acara sidang KNIP 28 Februari 1946 di Solo.

Intisari-Online.com - Isi Perjanjian Renville ditandatangani Indonesia dan Belanda pada 19 Januari 1948.

Dalam penandatanganan tersebut, Indonesia diwakili perdana menterinya saat itu, Amir Sjarifuddin Harahap.

Sementara Belanda diwakili Gubernur Jenderal Van Mook.

Perjanjian ini dianggap merugikan Indonesia karena menjadikan wilayah Indonesia semakin sempit.

Baca Juga: Pemberontakan Ini Pecah Usai Isi Perjanjian Renville Ditandatangani Indonesia, Belasan Tahun Sulit Ditumpas!

Belanda pun menguasai wilayah-wilayah hasil pangan dan sumber daya alam di Nusantara.

Belanda membendung masuknya sandang, pangan, dan senjata ke wilayah Indonesia. Negara yang baru saja merdeka ini terkena blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.

Dampak yang paling dirasakan oleh Indonesia dari perjanjian renville adalah keharusan tentaranya untuk pindah dari wilayah yang mereka kuasai sebelumnya.

Ditandatanganinya perjanjian yang sebenarnya bertujuan untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda ini justru memicu pemberontakan.

Baca Juga: Dikenal Sebagai Militer Terkuat di Dunia dan Bawa Senjata Lengkap, Ratusan Tentara Amerika Mendadak Mendarat di Palembang, Apa yang Terjadi?

Sementara itu, Amir Sjarifuddin yang menjadi delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville akhirnya meletakkan jabatannya.

Sejumlah pimpinan partai juga menolak hasil perjanjian itu.

Tak lama kemudian, dimulailah sebuah peristiwa yang akhirnya membawa sosok pejuang kemerdekaan Indonesia ini menemui akhir hidupnya dalam hukuman mati.

Itu adalah peristiwa pemberontakan yang dikenal sebagai pemberontakan PKI Madiun.

Baca Juga: Peristiwa Rengasdengklok, Saat Jenderal Terautji Turut Berucap: 'Terserah kepada Tuan-tuan Kapan Indonesia Akan Merdeka'

Amir Sjarifuddin setelah Tandatangani Isi Perjanjian Renville

Sebulan setelah Amir Sjarifuddin meletakkan jabatannya, lahirlah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang menjadi penentang paling keras Kabinet Hatta.

Dalam organisasi FDR inilah, Amir merupakan salah-seorang pentolannya.

Kemudian pada awal Agustus 1948, Musso yang dikenal sebagai pemimpin PKI Madiun datang ke Indonesia.

Dua pekan kemudian, Amir Sjarifuddin secara terbuka mengumumkan bahwa dia sudah "menjadi komunis" sejak 1935.

Baca Juga: Cek Weton Jumat Pahing yang Punya Watak Lakuning Srengenge, Jodoh Berdasarkan Weton Hari Ini Apa Ya?

"Dia bergabung dengan Partai Komunis Ilegalnya Musso di Surabaya," tulis George Mc Turnan Kahin, dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1995).

Beberapa bulan kemudian, meledaklah peristiwa Madiun 1948, yang menurut sejarah resmi, disebut sebagai pemberontakan PKI di Madiun.

Dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut, Amir Sjarifuddin dijatuhi hukuman mati.

Pada 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, Amir bersama 10 orang kelompoknya, ditembak mati oleh satuan TNI, setelah tertangkap sebulan sebelumnya.

Baca Juga: Bak Menemukan Celah untuk Menyerang Indonesia, Veronika Koman Langsung Manfaatkan Isu Oknum TNI Injak Kepala Orang Papua dengan Isu Sensitif Ini

Tokoh Sumpah Pemuda yang Hidupnya Berakhir dengan Hukuman Mati

Amir Sjarifuddin menjadi salah satu tokoh pejuang kemerdekaan yang justru hidupnya berakhir oleh hukuman mati.

Sebelum menjadi Perdana Menteri dan mewakili Indonesia dalam perundingan dengan Belanda, ia termasuk tokoh penting Sumpah Pemuda.

Seperti diketahui, peristiwa Sumpah Pemuda merupakan salah satu yang menandai Kebangkitan Nasional Indonesia.

Amir Syarifuddin Harahap lahir di Medan pada 27 Mei 1907.

Baca Juga: Bak Menemukan Celah untuk Menyerang Indonesia, Veronika Koman Langsung Manfaatkan Isu Oknum TNI Injak Kepala Orang Papua dengan Isu Sensitif Ini

Amir Sjarifuddin.
Amir Sjarifuddin.

Ia bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) Medan dan dikenal sebagai siswa yang cerdas dan brilian.

Namun, pendidikan Amir di ELS hanya sampai kelas dua karena ayahnya pindah kerja ke Tapanuli.

Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di Sibolga dan selesai pada 1921.

Atas saran sepupunya, Sutan Gunung Mulia, ia melanjutkan pendidikan di Belanda.

Baca Juga: Awas, Kebiasaan Sepele Orang Indonesia Sehabis Beli Kulkas Baru Ini Malah Bisa Bikin Tekor Karena Bikin Kulkas Rusak Sampai Harus Beli Baru, Jangan Diulangi!

Amir mengambil studi hukum di Gymnasium Harleem dan lulus pada 1927.

Di Belanda, Amir berteman dekat dengan Ferdinand. Melalui Ferdinand, Amir mulai tertarik dengan pemikiran Kristen.

Amir pun dibaptis di Batavia pada 1931.

Selain itu, Amir juga tertarik pada pemikiran Maximillien Robespierre dan Comte de Mirabeau.

Baca Juga: Cek Weton Jumat Pahing yang Punya Watak Lakuning Srengenge, Jodoh Berdasarkan Weton Hari Ini Apa Ya?

Amir aktif mengikuti Perkoempoelan Hindia (kemudian berubah nama menjadi Perhimpoenan Indonesia) selama menjadi mahasiswa di Belanda.

Pada 1927, Amir Syarifuddin kembali ke Indonesia karena faktor ekonomi keluarga yang terpuruk setelah ayahnya berhenti bekerja.

Pada tahun 1928, Amir Sjarifuddin turut ambil bagian saat diselenggarakan Kongres Pemuda.

Ia menjadi bendahara acara itu, dan menjadi salah-satu wakil Jong Sumatra, serta ikut membidani kelahiran organisasi Jong Batak.

Baca Juga: Mulai Sekarang Tak Perlu Lagi Bergantung Pada Setrika, Ternyata Inilah Trik Ampuh Untuk Merapikan Pakaian Kusut Tanpa Menggunakan Setrika, Seumur Hidup Baru Tau Ada Trik Seperti Ini

Pada 1937, Amir mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang berusaha membina segenap kekuatan-kekuatan antifasis dan prodemokrasi.

Belakangan, dia mengakui menerima uang dari pemerintah Belanda pada 1941 untuk "membiayai jaringan di bawah tanah" melawan invasi fasisme dan militerisme Jepang, tulis Ben Anderson dalam buku Revoloesi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Pelawanan di Jawa 1944-1946 (1988).

Sementara saat Jepang masuk ke Indonesia pada awal 1943, Amir ditangkap Kempetai Jepang dan dijatuhi hukuman mati, karena dianggap mengorganisasi gerakan gawah tanah.

Ketika itu, hukuman mati Jepang tidak pernah dijalankan setelah ada intervensi Sukarno-Hatta, namun pada akhirnya ia justru dijatuhi hukuman mati di bawah pemerintahan Indonesia sendiri.

Baca Juga: Bisnisnya Memang Tak Kelihatan, Namun Kekayaanya Tembus Rp1.266 Triliun, Terkuak Inilah Bisnis Gelap Kerajaan Inggris di Masa Lalu, 'jual-Beli Manusia'

Upaya Agar Amir Sjarifuddin Dapatkan Gelar Pahlawan Nasional

Mengutip Kompas.com, pada November 2015, ada wacana dari sejumlah pihak agar ada upaya supaya Amir Sjarifuddin mendapatkan status pahlawan nasional dari pemerintah.

Pemberitaan itu menyebutkan akan dibentuk kepanitiaan untuk merealisasikan hal tersebut, yang antara lain dipimpin oleh Sabam Sirait, Bert Supit dan Jopie Lasut. Intinya, mereka diberi mandat mempersiapkan dokumen-dokumen seputar peranan Amir.

"Amir [Sjarifuddin] adalah salah-satu tokoh dalam membentuk Republik Indonesia, "kata Bert Adriaan Supit kepada BBC News Indonesia, Selasa (28/07/2020) lalu.

Bert Supit, yang pernah menjadi salah-seorang ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 1989-1994, menganggap "semua yang mensponsori kemerdekaan Indonesia, semua itu adalah pahlawan."

Baca Juga: Mulai Sekarang Tak Perlu Lagi Bergantung Pada Setrika, Ternyata Inilah Trik Ampuh Untuk Merapikan Pakaian Kusut Tanpa Menggunakan Setrika, Seumur Hidup Baru Tau Ada Trik Seperti Ini

Ia juga menilai nahwa Amir sebenarnya seperti Sjahrir, dan lain-lain.

"Hanya dia memang terjebak dengan Musso," katanya.

Jika ada yang menyebut Amir adalah komunis, Bert Supit termasuk pihak yang meragukan.

"Saya pikir dia bukan seorang komunis sejati," ujarnya dalam wawancara melalui sambungan telepon, dikutip Kompas.com.

Baca Juga: Mulai Sekarang Tak Perlu Lagi Bergantung Pada Setrika, Ternyata Inilah Trik Ampuh Untuk Merapikan Pakaian Kusut Tanpa Menggunakan Setrika, Seumur Hidup Baru Tau Ada Trik Seperti Ini

(*)

Artikel Terkait