Bom-bom jatuh di berbagai tempat, menimbulkan korban jiwa dan kerusakan.
Serangan udara itu diikuti oleh serangan darat dari arah barat dan timur.
Pejuang Indonesia tidak tinggal diam.
Mereka melakukan perlawanan sengit dengan menggunakan senjata-senjata yang mereka miliki atau rampas dari Jepang dan Sekutu.
Mereka juga memanfaatkan keuntungan medan perkotaan yang rumit dan penuh jebakan.
Pertempuran Surabaya mencapai puncaknya pada 10 November 1945.
Pada hari itu, pasukan Sekutu melancarkan serangan besar-besaran dari semua arah dengan menggunakan tank, pesawat, dan kapal perang.
Pejuang Indonesia juga memberikan perlawanan habis-habisan dengan menggunakan senapan, bambu runcing, bom molotov, dan granat.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada hari itu adalah kematian Mallaby.
Mallaby tewas tertembak di daerah Jembatan Merah saat berusaha mengevakuasi diri dari mobilnya yang terbakar akibat serangan pejuang Indonesia.
Kematian Mallaby membuat pasukan Sekutu marah dan meningkatkan intensitas serangan mereka.
Pertempuran Surabaya berakhir pada 20 November 1945, setelah pejuang Indonesia menerima ultimatum dari Soekarno untuk menghentikan perlawanan demi menghindari bencana kemanusiaan.
Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya mulai mereda pada 28 November 1945.
Pertempuran ini lebih banyak memakan korban jiwa dari pihak Indonesia yang mencapai 20.000 orang.
Sementara itu, korban jiwa di pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.
Tidak hanya itu, penduduk juga banyak yang mengungsi dari Kota Surabaya dan bangunan-bangunan mengalami kerusakan dan kehancuran parah.
Pejuang Indonesia kemudian meninggalkan Surabaya secara teratur dan bergerak ke daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Pertempuran Surabaya adalah perang paling heroik dalam sejarah revolusi Indonesia.
Perang ini menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia bersatu dan gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Perang ini juga menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR