Benarkah Pertempuan Surabaya Adalah Perang Kota Paling Sengit Dalam Sejarah Indonesia?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Pertempuran Surabaya, perang kota paling seru dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Jenderal Sekutu tewas dalam perang ini.
Pertempuran Surabaya, perang kota paling seru dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Jenderal Sekutu tewas dalam perang ini.

Pertempuran Surabaya, perang kota paling seru dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Jenderal Sekutu tewas dalam perang ini.

Intisari-Online.com -Bisa dibilang, Pertempuran Surabaya yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945 adalah perang kota paling sengit dalam sejarah Indonesia.

Kenapa begitu?

Pertempuran Surabaya adalah salah satu peristiwa paling heroik dan bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pertempuran ini terjadi antara pasukan pejuang Indonesia yang terdiri dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mantan prajurit PETA, milisi rakyat, dan polisi istimewa melawan pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Britania Raya dan didukung oleh Belanda.

Pertempuran ini berlangsung selama hampir sebulan, dari 27 Oktober hingga 20 November 1945, dengan puncaknya pada tanggal 10 November 1945.

Latar belakang pertempuran Surabaya bermula dari kedatangan pasukan Sekutu di Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada akhir Perang Dunia II.

Pasukan Sekutu yang berada di bawah komando AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang dan mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Namun, rakyat Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 tidak mau tunduk kepada penjajah lama.

Salah satu kota yang menunjukkan perlawanan keras terhadap pasukan Sekutu adalah Surabaya.

Kota ini merupakan basis gerakan pemuda dan nasionalis yang telah mengibarkan bendera merah putih di berbagai tempat.

Salah satu insiden yang memicu ketegangan adalah perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) oleh pemuda pada 19 September 1945.

Bendera Belanda tersebut dikibarkan oleh NICA (Netherlands-Indies Civil Administration), yaitu badan sipil Belanda yang dibentuk untuk mengambil alih pemerintahan dari Jepang.

Kedatangan Pasukan Sekutu dan Pembunuhan Mallaby

Pada 25 Oktober 1945, pasukan Sekutu dengan kekuatan sekitar 4.000 tentara mendarat di Tanjung Perak, Surabaya.

Pasukan ini terdiri dari batalyon Mahratta dan Rajput dari Brigade India Inggris ke-49 yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby.

Pasukan ini kemudian membangun pos pertahanan di Benteng Miring dan mendirikan sarang senapan mesin di Wonokromo.

Keesokan harinya, beberapa pemimpin Indonesia seperti Gubernur Soerjo, Bung Tomo, dan Moestopo berunding dengan Mallaby di Gedung Gubernur.

Kesepakatan dicapai bahwa pasukan Sekutu hanya akan melucuti senjata Jepang dan segera meninggalkan Surabaya lewat laut.

Namun, kesepakatan ini tidak berlangsung lama.

Pada 27 Oktober 1945, sebuah pesawat militer dari Jakarta terbang di langit Surabaya sambil menebarkan pamflet yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, komandan AFNEI.

Pamflet tersebut memerintahkan rakyat Indonesia untuk menyerahkan senjata mereka kepada pasukan Sekutu dalam waktu dua hari atau akan dihukum mati.

Pamflet ini menimbulkan kemarahan dan protes dari rakyat Surabaya.

Pada hari yang sama, terjadi bentrokan antara pasukan Sekutu dan pejuang Indonesia di beberapa tempat seperti Jembatan Merah, Kembang Kuning, dan Tegalsari.

Pasukan Sekutu juga menembaki kerumunan rakyat yang sedang berdemonstrasi di depan Kanton INCA.

Pada 28 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk mencoba menenangkan situasi.

Mereka bertemu dengan Mallaby dan Hawthorn untuk membahas cara penyelesaian konflik.

Dalam pertemuan itu, Soekarno mengajukan tiga syarat kepada Sekutu, yaitu:

1. Pasukan Sekutu harus menghormati kemerdekaan Indonesia dan tidak mencampuri urusan dalam negeri.

2. Pasukan Sekutu harus menarik diri dari Surabaya dan menyerahkan kota itu kepada pemerintah Republik Indonesia.

3. Pasukan Sekutu harus menyerahkan senjata-senjata Jepang kepada pemerintah Republik Indonesia.

Syarat-syarat itu ditolak oleh Sekutu.

Mereka bersikeras bahwa mereka hanya bertanggung jawab kepada PBB dan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.

Mereka juga mengklaim bahwa senjata-senjata Jepang adalah milik mereka sebagai pemenang perang.

Pertemuan itu berakhir tanpa hasil. Soekarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin kemudian meninggalkan Surabaya pada 29 Oktober 1945.

Pada 30 Oktober 1945, pasukan Sekutu melancarkan serangan udara terhadap Surabaya.

Bom-bom jatuh di berbagai tempat, menimbulkan korban jiwa dan kerusakan.

Serangan udara itu diikuti oleh serangan darat dari arah barat dan timur.

Pejuang Indonesia tidak tinggal diam.

Mereka melakukan perlawanan sengit dengan menggunakan senjata-senjata yang mereka miliki atau rampas dari Jepang dan Sekutu.

Mereka juga memanfaatkan keuntungan medan perkotaan yang rumit dan penuh jebakan.

Pertempuran Surabaya mencapai puncaknya pada 10 November 1945.

Pada hari itu, pasukan Sekutu melancarkan serangan besar-besaran dari semua arah dengan menggunakan tank, pesawat, dan kapal perang.

Pejuang Indonesia juga memberikan perlawanan habis-habisan dengan menggunakan senapan, bambu runcing, bom molotov, dan granat.

Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada hari itu adalah kematian Mallaby.

Mallaby tewas tertembak di daerah Jembatan Merah saat berusaha mengevakuasi diri dari mobilnya yang terbakar akibat serangan pejuang Indonesia.

Kematian Mallaby membuat pasukan Sekutu marah dan meningkatkan intensitas serangan mereka.

Pertempuran Surabaya berakhir pada 20 November 1945, setelah pejuang Indonesia menerima ultimatum dari Soekarno untuk menghentikan perlawanan demi menghindari bencana kemanusiaan.

Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya mulai mereda pada 28 November 1945.

Pertempuran ini lebih banyak memakan korban jiwa dari pihak Indonesia yang mencapai 20.000 orang.

Sementara itu, korban jiwa di pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.

Tidak hanya itu, penduduk juga banyak yang mengungsi dari Kota Surabaya dan bangunan-bangunan mengalami kerusakan dan kehancuran parah.

Pejuang Indonesia kemudian meninggalkan Surabaya secara teratur dan bergerak ke daerah-daerah lain di Jawa Timur.

Pertempuran Surabaya adalah perang paling heroik dalam sejarah revolusi Indonesia.

Perang ini menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia bersatu dan gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya.

Perang ini juga menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika.

Artikel Terkait