Trunojoyo kemudian melarikan diri dari keraton dan bergabung dengan pamannya, Cakraningrat II, yang menjadi penguasa Madura Barat.
Cakraningrat II juga tidak senang dengan kebijakan Amangkurat I yang mencampuri urusan internal Madura.
Pada tahun 1674, Cakraningrat II diculik oleh pasukan Mataram dan dibuang ke Kediri. Hal ini memicu reaksi keras dari Trunojoyo yang kemudian memimpin pemberontakan melawan Mataram.
Selain faktor internal, pemberontakan Trunojoyo juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu keterlibatan VOC dalam urusan politik Jawa.
VOC adalah perusahaan dagang Belanda yang mendapatkan hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia dari pemerintah Belanda.
VOC berusaha memperluas pengaruhnya di Jawa dengan menjalin persekutuan dengan Mataram dan mengintervensi konflik-konflik antara kerajaan-kerajaan lokal.
VOC juga menuntut pajak dan kontribusi dari daerah-daerah bawahan Mataram, termasuk Madura. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan perlawanan dari rakyat Jawa, khususnya mereka yang beragama Islam.
Trunojoyo mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang tidak suka dengan Mataram dan VOC. Salah satu sekutu terpentingnya adalah Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.
Kerajaan ini juga sedang berperang melawan VOC karena menolak tunduk pada perjanjian Bongaya tahun 1667 yang mengharuskan Gowa-Tallo mengakui kedaulatan VOC di Sulawesi Selatan.
Sultan Hasanuddin mengirimkan pasukan Makassar untuk membantu Trunojoyo melawan Mataram dan VOC. Pasukan Makassar dipimpin oleh Karaeng Galesong, seorang panglima perang yang berpengalaman dan berani.
Pasukan Makassar membawa senjata api dan meriam yang lebih canggih dari pasukan Mataram. Selain itu, Trunojoyo juga mendapatkan dukungan dari para pemberontak lainnya di Jawa Timur, seperti Raden Kajoran, Panembahan Giri, dan Pangeran Sampang.
Baca Juga: Kisah Trunojoyo, Pemberontak dari Madura yang Hampir Menggulingkan Mataram
KOMENTAR