Intisari-Online.com -Pemberontakan Trunojoyo adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada abad ke-17.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Raden Trunojoyo, seorang bangsawan Madura yang menentang kekuasaan Kesultanan Mataram yang dibantu oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC).
Pemberontakan ini hampir berhasil menggulingkan Mataram Islam dan mendirikan kerajaan baru di Jawa Timur.
Namun, akhirnya pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh pasukan gabungan Mataram dan VOC setelah berlangsung selama tujuh tahun.
Latar Belakang Pemberontakan
Latar belakang pemberontakan Trunojoyo dapat ditelusuri dari kebijakan Amangkurat I, raja Mataram yang naik takhta pada tahun 1646 menggantikan Sultan Agung.
Amangkurat I memerintah dengan otoriter dan sewenang-wenang. Dia sering melakukan pembunuhan terhadap para bangsawan dan ulama yang dianggap sebagai musuh atau ancaman bagi kekuasaannya.
Salah satu korban pembunuhan Amangkurat I adalah Pangeran Pekik, ayah mertuanya sendiri dan mantan adipati Surabaya yang ditaklukkan oleh Sultan Agung.
Pembantaian ini menimbulkan kemarahan dan kebencian di kalangan bangsawan Jawa Timur, termasuk Trunojoyo yang merupakan keturunan penguasa Madura.
Trunojoyo sendiri adalah seorang bangsawan Madura yang dipaksa tinggal di keraton Mataram setelah kakeknya, Cakraningrat I, menyerahkan diri kepada Sultan Agung pada tahun 1624.
Baca Juga: Eksekusi Mati Raden Trunojoyo Terbengis Sepanjang Sejarah Kerajaan
Trunojoyo kemudian melarikan diri dari keraton dan bergabung dengan pamannya, Cakraningrat II, yang menjadi penguasa Madura Barat.
Cakraningrat II juga tidak senang dengan kebijakan Amangkurat I yang mencampuri urusan internal Madura.
Pada tahun 1674, Cakraningrat II diculik oleh pasukan Mataram dan dibuang ke Kediri. Hal ini memicu reaksi keras dari Trunojoyo yang kemudian memimpin pemberontakan melawan Mataram.
Selain faktor internal, pemberontakan Trunojoyo juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu keterlibatan VOC dalam urusan politik Jawa.
VOC adalah perusahaan dagang Belanda yang mendapatkan hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia dari pemerintah Belanda.
VOC berusaha memperluas pengaruhnya di Jawa dengan menjalin persekutuan dengan Mataram dan mengintervensi konflik-konflik antara kerajaan-kerajaan lokal.
VOC juga menuntut pajak dan kontribusi dari daerah-daerah bawahan Mataram, termasuk Madura. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan perlawanan dari rakyat Jawa, khususnya mereka yang beragama Islam.
Trunojoyo mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang tidak suka dengan Mataram dan VOC. Salah satu sekutu terpentingnya adalah Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.
Kerajaan ini juga sedang berperang melawan VOC karena menolak tunduk pada perjanjian Bongaya tahun 1667 yang mengharuskan Gowa-Tallo mengakui kedaulatan VOC di Sulawesi Selatan.
Sultan Hasanuddin mengirimkan pasukan Makassar untuk membantu Trunojoyo melawan Mataram dan VOC. Pasukan Makassar dipimpin oleh Karaeng Galesong, seorang panglima perang yang berpengalaman dan berani.
Pasukan Makassar membawa senjata api dan meriam yang lebih canggih dari pasukan Mataram. Selain itu, Trunojoyo juga mendapatkan dukungan dari para pemberontak lainnya di Jawa Timur, seperti Raden Kajoran, Panembahan Giri, dan Pangeran Sampang.
Baca Juga: Kisah Trunojoyo, Pemberontak dari Madura yang Hampir Menggulingkan Mataram
Jalannya Pemberontakan
Pemberontakan Trunojoyo dimulai dengan penyerangan terhadap Mataram pada tahun 1674. Trunojoyo berhasil merebut Madura dan memproklamirkan diri sebagai raja di Madura Barat.
Dia juga mengklaim sebagai keturunan Ken Arok, pendiri Kerajaan Singhasari, dan menamakan kerajaannya sebagai Kerajaan Kediri. Dia bermaksud untuk mengembalikan kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur yang pernah ditaklukkan oleh Mataram.
Pada tahun 1676, pasukan Trunojoyo dan Makassar mengalahkan pasukan Mataram di Gegodog, dekat Tuban. Kemenangan ini membuka jalan bagi mereka untuk menduduki hampir seluruh pantai utara Jawa, mulai dari Surabaya hingga Cirebon.
Mereka juga menjarah dan membakar kota-kota dan desa-desa yang mereka lalui. Banyak rakyat Jawa yang bergabung dengan pemberontakan atau melarikan diri ke daerah pedalaman.
Pada tahun 1677, pasukan Trunojoyo dan Makassar mengepung keraton Mataram di Plered, dekat Yogyakarta. Amangkurat I terpaksa melarikan diri bersama keluarga dan pengikutnya ke Tegal.
Dalam perjalanan, dia jatuh sakit dan meninggal di desa Tegalarum. Dia digantikan oleh putranya, Amangkurat II, yang melanjutkan pelarian ke arah barat. Sementara itu, Trunojoyo memasuki keraton Mataram dan mengambil alih tahta serta harta benda kerajaan.
Amangkurat II menyadari bahwa dia tidak mampu menghadapi pemberontakan sendirian. Dia memutuskan untuk meminta bantuan kepada VOC, yang saat itu berkuasa di Batavia (sekarang Jakarta).
Dia menjanjikan untuk membayar VOC dengan uang dan wilayah jika mereka mau membantunya mengalahkan Trunojoyo. VOC menerima tawaran Amangkurat II karena mereka juga merasa terancam oleh pemberontakan Trunojoyo yang mengganggu kepentingan dagang mereka di Jawa.
Pada tahun 1678, VOC mengirimkan pasukan bantuan untuk Amangkurat II di bawah pimpinan Cornelis Speelman, seorang gubernur jenderal VOC yang berpengalaman dalam urusan militer dan politik di Indonesia.
Speelman juga berhasil mendapatkan dukungan dari Arung Palakka, seorang pemimpin Bugis yang merupakan musuh bebuyutan Sultan Hasanuddin. Arung Palakka bersedia membantu VOC dan Mataram dengan syarat dia diberikan wilayah Sulawesi Selatan sebagai imbalannya.
Baca Juga: Babak Beluk Diserbu Pasukan Trunojoyo, Raja Mataram Amangkurat I Kabur Ke Tempat Ini Hingga Tewas
Pasukan gabungan VOC, Mataram, dan Bugis mulai melakukan serangan balasan terhadap pasukan Trunojoyo dan Makassar.
Mereka berhasil merebut kembali beberapa kota penting di pantai utara Jawa, seperti Surabaya, Jepara, dan Semarang. Mereka juga mengepung ibu kota Trunojoyo di Kediri dan berhasil merebutnya pada bulan Desember 1678. Trunojoyo melarikan diri ke arah timur dan bersembunyi di daerah pegunungan.
Pada tahun 1679, pasukan VOC dan Mataram terus mengejar Trunojoyo dan sekutunya. Mereka berhasil mengalahkan atau menangkap beberapa pemimpin pemberontak, seperti Karaeng Galesong, Raden Kajoran, Panembahan Giri, dan Pangeran Sampang.
Trunojoyo sendiri ditangkap oleh pasukan VOC di desa Roban pada bulan November 1679. Dia dibawa ke Batavia sebagai tawanan VOC. Namun, dia tidak bertahan lama karena dibunuh oleh Amangkurat II yang datang berkunjung ke Batavia pada bulan Juni 1680.
Akhir Pemberontakan
Meskipun Trunojoyo dan sekutunya telah dikalahkan, pemberontakan belum sepenuhnya berakhir. Masih ada beberapa kelompok pemberontak yang bertahan di daerah-daerah terpencil.
Salah satu kelompok yang paling kuat adalah kelompok Pangeran Puger, adik Amangkurat II yang juga mengklaim sebagai raja Mataram. Pangeran Puger merebut keraton Mataram di Plered setelah ditinggalkan oleh pasukan Trunojoyo pada tahun 1677.
Dia mendapatkan dukungan dari sebagian rakyat Jawa yang tidak suka dengan Amangkurat II dan VOC.
Pangeran Puger terus melawan pasukan Amangkurat II dan VOC hingga tahun 1681. Dia sempat menguasai beberapa kota besar di Jawa Tengah, seperti Yogyakarta, Klaten, dan Solo.
Namun, akhirnya dia dapat dikalahkan oleh pasukan gabungan VOC dan Bugis yang dipimpin oleh Speelman dan Arung Palakka. Dia menyerah kepada VOC pada bulan Agustus 1681 dan dibuang ke Batavia.
Dengan menyerahnya Pangeran Puger, pemberontakan Trunojoyo secara resmi berakhir. Amangkurat II dapat memulihkan kekuasaannya sebagai raja Mataram. Namun, dia harus membayar harga yang mahal atas bantuan VOC.
Baca Juga: Eksekusi Mati Raden Trunojoyo Terbengis Sepanjang Sejarah Kerajaan
Dia harus menyerahkan sebagian besar wilayah pantai utara Jawa kepada VOC sebagai ganti biaya perang. Dia juga harus mengakui kedaulatan VOC atas Sulawesi Selatan dan Maluku sebagai imbalan bantuan Arung Palakka. Akibatnya, kekuasaan Mataram menjadi lemah dan tergantung pada VOC.
Dampak Pemberontakan
Pemberontakan Trunojoyo memberikan dampak yang besar bagi sejarah Indonesia. Pemberontakan ini merupakan salah satu perlawanan terbesar terhadap kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.
Pemberontakan ini juga menunjukkan semangat perjuangan dan nasionalisme rakyat Indonesia yang tidak mau tunduk pada penjajah asing.
Selain itu, pemberontakan ini turut menyebabkan perubahan politik dan sosial di Jawa termasukmengakhiri masa kejayaan Mataram sebagai kerajaan terbesar di Jawa.
Mataram menjadi lemah dan tergantung pada VOC. Wilayah pantai utara Jawa menjadi milik VOC, sementara wilayah pedalaman Jawa menjadi terisolasi dan miskin. Kesenjangan antara pesisir dan pedalaman Jawa semakin melebar.
Hingga akhirnyamemicu munculnya kerajaan-kerajaan baru di Jawa Timur, seperti Madura, Surabaya, Gresik, dan Pasuruan, yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh Mataram.