Yakni, Istana Negara tidak memiliki juru masak hingga bermuara dengan pertemuan seorang wanita paruh baya asal Sleman dengan sang Ndoro (tuannya/Soekarno).
Sosok wanita paruh baya yang akhirnya diangkat sebagai juru masak Presiden tersebut dikenal dengan sapaan Mbah Wiryo.
Melansir dari Instagram @solosocieteit, perpindahan ibukota Indonesia ke Yogyakarta membuat kehidupan Mbah Wiryo juga ikut berubah.
Wanita kelahiran Sleman tahun 1903 tersebut mendapat kesempatan untuk menyiapkan makanan bagi Sang Proklamator.
Sebagai seorang wanita desa biasa, Mbah Wiryo ternyata hanya tinggal di rumah sederhana bertembok kayu dari anyaman bambu.
Namun nasib Mbah Wiryo berubah kala diminta melayani Soekarno di Istana Agung Yogyakarta sebagai juru masak.
Mbah Wiryo bekerja dari jam 7 pagi sampai Magrib menjelang untuk menyiapkan segala kebutuhan santapan Sang Presiden RI pertama.
Siapa sangka, ternyata masakan Mbah Wiryo mampu membuat sang 'Penyambung Lidah Rakyat' terkesan dan ketagihan.
Bahkan Soekarno sangat menikmati masakan demi masakan hasil kreasi dari Mbah Wiryo meski hanya makanan sederhana.
Dari hasil karya mbah Wiryo membuatnya ikut diboyong sang "ndoro kakung", begitu juru masak itu memanggil Bung Karno, ketika ibukota negara kembali ke Jakarta.
Berkat kesetiaannya mengiring sang Proklamator untuk menjadi juru saji makanan kemanapun Bung Karno pergi, pada tahun 1966 perjuangan dari dapur itu dihargai oleh sang presiden pertama.
Bukan dibaju blazer khas wanita barat yang ia kenakan, namun dengan kebaya yang setiap hari ia kenakan karena bangga menjadi orang Jawa, di kebaya tersebut disematkan mendali "Satya Lancana Wira Karya".
Hal tersebut membuktikan bahwa dari dapur, perjuangan bisa ditiru dari mbah Wiryo.
(*)
Penulis | : | Andreas Chris Febrianto Nugroho |
Editor | : | Andreas Chris Febrianto Nugroho |
KOMENTAR