Intisari Online- Julukan 'Penyambung Lidah Rakyat' memang lekat pada sosok Soekarno sebagai Proklamator kemerdekaan Indonesia.
Sebagai seorang orator yang acap kali berpidato di depan ribuan orang, Soekarno memang memiliki kharisma tinggi untuk bisa menjadi pusat perhatian.
Senjata utama orator seperti Soekarno tak lain adalah mulutnya yang mampu menyihir banyak orang termasuk saat ia mengajak rakyat untuk menyuarakan kemerdekaan.
Kehebatan Soekarno saat berorasi mungkin bisa saja bukan hanya karena kecerdasan berpikir tapi juga kemampuannya untuk bertutur kata.
Hal itu menimbulkan pertanyaan besar, makanan apa yang membuat sang 'Penyambung Lidah Rakyat' ketagihan.
Dan siapakah sosok di balik makanan yang sering disantap oleh Bung Besar tersebut?
Jawabannya tak lain adalah sosok Mbah Wiryo.
Sebagai orang yang sangat paham mengenai selera makan Soekarno, bahkan membuat Mbah Wiryo sampai diganjar penghargaan.
Perjumpaan Mbah Wiryo, sang juru masak Istana dengan Bung Karno bermula saat Ibukota Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 5 Januari 1946.
Hasil perjanjian Renville membuat seluruh pejabat pemerintahan di Jakarta harus dipindahkan sesegera mungkin ke Yogyakarta kala itu.
Saat menempati gedung Agung (dulu kantor residen Belanda), Soekarno langsung dihadapi dengan masalah unik namun penting.
Baca Juga: Menguak Teknologi Nuklir yang Dikembangkan Sejak Era Presiden Soekarno, Rupanya Sudah Secanggih Ini
Yakni, Istana Negara tidak memiliki juru masak hingga bermuara dengan pertemuan seorang wanita paruh baya asal Sleman dengan sang Ndoro (tuannya/Soekarno).
Sosok wanita paruh baya yang akhirnya diangkat sebagai juru masak Presiden tersebut dikenal dengan sapaan Mbah Wiryo.
Melansir dari Instagram @solosocieteit, perpindahan ibukota Indonesia ke Yogyakarta membuat kehidupan Mbah Wiryo juga ikut berubah.
Wanita kelahiran Sleman tahun 1903 tersebut mendapat kesempatan untuk menyiapkan makanan bagi Sang Proklamator.
Sebagai seorang wanita desa biasa, Mbah Wiryo ternyata hanya tinggal di rumah sederhana bertembok kayu dari anyaman bambu.
Namun nasib Mbah Wiryo berubah kala diminta melayani Soekarno di Istana Agung Yogyakarta sebagai juru masak.
Mbah Wiryo bekerja dari jam 7 pagi sampai Magrib menjelang untuk menyiapkan segala kebutuhan santapan Sang Presiden RI pertama.
Siapa sangka, ternyata masakan Mbah Wiryo mampu membuat sang 'Penyambung Lidah Rakyat' terkesan dan ketagihan.
Bahkan Soekarno sangat menikmati masakan demi masakan hasil kreasi dari Mbah Wiryo meski hanya makanan sederhana.
Dari hasil karya mbah Wiryo membuatnya ikut diboyong sang "ndoro kakung", begitu juru masak itu memanggil Bung Karno, ketika ibukota negara kembali ke Jakarta.
Berkat kesetiaannya mengiring sang Proklamator untuk menjadi juru saji makanan kemanapun Bung Karno pergi, pada tahun 1966 perjuangan dari dapur itu dihargai oleh sang presiden pertama.
Bukan dibaju blazer khas wanita barat yang ia kenakan, namun dengan kebaya yang setiap hari ia kenakan karena bangga menjadi orang Jawa, di kebaya tersebut disematkan mendali "Satya Lancana Wira Karya".
Hal tersebut membuktikan bahwa dari dapur, perjuangan bisa ditiru dari mbah Wiryo.
(*)