Bahkan penerbit Tionghoa mulai bermunculan dan membuat pertumbuhan surat kabar berkembang pesat.
Kermunculannya media cetak itu segera diikuti dengan munculnya sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Misalnya R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf.
Selanjutnya, pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang.
Dengan hadirnya kebudayaan cetak ini, maka mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi.
Pada tahun 1901 misalnya, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerja sama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu.
Pada akhirnya, wacana kemajuan terus merebak melalui pers.
Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu.
Sementara Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin.
Surat kabar tersebut memuat dua hal penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”.
Bangsawan usul adalah mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dan lain-lain.
Sementara bangsawan pikiran adalah mereka yang mempunyai gelar meester, dokter, dan sebagainya, yang diperoleh melalui pendidikan.
Baca Juga: Bagaimana Seharusnya Sikap Masyarakat Setelah Mengetahui Berbagai Jenis Perundang-undangan?
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR