Terlepas dari cinta Lady Huarui kepada Kaisar Mengchang, Kaisar Taizu sangat mencintai wanita cantik itu.
Dia selalu menginginkan wanita itu di sisinya, bahkan ketika dia sakit.
Namun, adik Kaisar Taizu yang bernama Zhao Guangyi cemburu pada Lady Huarui karena pengaruhnya terhadap Kaisar.
Zhao Guangyi mencoba menyingkirkan wanita itu dengan membuat tuduhan palsu bahwa dia meracuni Kaisar.
Kaisar Taizu tahu bahwa tuduhan itu tidak benar dan mengabaikannya.
Menyadari tidak ada yang bisa membujuk Kaisar Taizu untuk menyingkirkan selir kesayangannya, Zhao Guangyi memutuskan untuk membunuh Lady Huarui sendiri.
Pada tahun 976 M, Lady Huarui menemani Kaisar Taizu dan Zhao Guangyi dalam perjalanan berburu.
Zhao Guangyi mengarahkan busurnya ke binatang, namun pada menit terakhir, dia tiba-tiba mengarahkan busurnya ke arah Lady Huarui dan memanahnya.
Lady Huarui pun tewas, dan ini mengakhiri kehidupan tragis wanita cantik yang legendaris.
Dia kehilangan suami pertamanya, yang sangat dia cintai, dan meninggal dengan cara yang paling tragis.
Kecantikan Lady Huarui menjadi legendaris selama berabad-abad.
Dia sangat cantik bahkan cucu Kaisar Taizu, Zhao Heng, yang kemudian menjadi Kaisar Zhenzong dari Dinasti Song, begitu terpikat oleh mitos kecantikan Lady Huarui, hingga dia ingin memiliki selir yang mirip dengannya.
Dia pergi ke kerajaan Shu milik Lady Huarui untuk menemukan wanita yang mirip dengan Lady Huarui.
Puisi Lady Huarui juga membuatnya terkenal.
Sejarawan secara tradisional menganggapnya sebagai penulis 157 puisi.
Meskipun Lady Huarui terus melegenda karena kecantikannya, melalui puisi-puisinya para pembaca dapat mengetahui pikiran yang sesungguhnya.
Lady Huarui tetap menjadi ikon populer karena dia mewakili kecantikan dan kecerdasan.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR