Di sana dicantumkan perjanjian yang intinya tentang perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai.
Akan tetapi, terdapat tambahan dalam Pasal 61 A yang menyebutkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.
Aturan tersebut dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan.
Dengan aturan ini, pekerja tidak diberi kesempatan untuk memilih atau menentukan sendiri kapasitas waktu yang mau dihabiskan di perusahaan tempatnya bekerja.
Sebab, jangka waktu kontrak berdasarkan keputusan pengusaha dan berpotensi terjadi kontrak seumur hidup.
4. Rentan Pemutusan Hubungan Kerja Sewaktu-waktu
Pasal kontroversial dalam UU Cipta Kerja berikutnya masih sehubungan dengan perjanjian kerja.
Seperti yang telah disebutkan dalam poin tiga di atas, ada kemungkinan pengusaha bisa mengontrak tenaga kerja seumur hidup tapi itu juga berarti pekerja dalam kondisi rentan bisa mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sewaktu-waktu dari perusahaan.
Hal ini dinilai sangat merugikan pekerja.
5. Pasal tentang Pemotongan Waktu Istirahat
UU Cipta Kerja yang telah disahkan juga memuat jam istirahat.
Dalam Pasal 79 Ayat 2 Poin b disebutkan bahwa waktu istirahat mingguan hanya satu hari dalam enam hari kerja atau dalam satu minggu.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR