Intisari-Online.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai, DPR tengah mencoba mengutak-atik Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu ia sampaikan menanggapi langkah DPR yang secara mendadak mencopot hakim konstitusi Aswanto dan menggantikannya dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK Guntur Hamzah dalam rapat paripurna, Kamis (29/9/2022).
"Harus jadi catatan penting ini bahwa DPR coba mengobok-obok Mahkamah Konstitusi untuk menjalankan kepentingan politik mereka," kata Feri, Sabtu (1/10/2022) sebagaimana diwartakan Kompas.com.
Hakim MK Aswanto sendiri didepak DPR diduga karena keputusannya untuk membatalkan UU Cipta Kerja pada akhir 2021 silam.
Feri berpandangan, sejumlah alasan Komisi III DPR memberhentikan Aswanto adalah salah kaprah.
Dalam pertimbangannya, DPR mengaku memberhentikan Aswanto yang belum habis masa jabatannya itu karena telah membatalkan produk undang-undang yang disahkan DPR.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul sebelumnya mengatakan, pencopotan Aswanto merupakan keputusan politik.
Sementara Feri menegaskan, Aswanto tak bisa dicopot karena alasan itu.
Sebab, ia hanya menjalankan tugasnya sebagai hakim konstitusi, yakni mengoreksi aturan yang keliru.
Terkait dengan pemberhentian Aswanto tersebut, berikut adalah pasal kontroversial UU Cipta Kerja.
1. Pasal tentang Penghapusan Upah Minimum
Dalam UU Cipta kerja yang sudah disahkan, salah satu poin yang tidak disepakati oleh serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK).
Poin tersebut diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja bisa lebih rendah dari penghasilan yang didapatkan saat ini.
Pasal ini juga kontradiktif dengan aturan Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pekerja tidak boleh mendapatkan upah di bawah upah minimum.
Bagaimanapun jika ditelusuri, memang tidak semua daerah memiliki UMP yang sepadan dengan pengeluaran masyarakatnya.
Walaupun disebutkan penetapan UMK dan UMP berdasarkan perhitungan kebutuhan layak hidup atau KLH namun kenyataan di lapangan terkondisi hal yang berbeda dari konsep tersebut.
2. Pasal tentang Jam Lembur Jadi Lebih Lama
Pasal kontroversial lainnya dalam UU Cipta Kerja ialah pasal yang menyebut tentang jam lembur.
Ketika UU Cipta Kerja disahkan, berarti pasal yang membuat jam lembur di kantor lebih lama itu berlaku.
Ketentuan itu lebih lama daripada dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.
Sedangkan dalam draf Omnibus Law yang sekarang sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja disebutkan dalam BAB IV tentang ketenagakerjaan dalam Pasal 78 bahwa waktu kerja lembur bisa dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.
3. Pasal tentang Kontrak Seumur Hidup
Serikat buruh dan pemerhati pekerja saat ini meradang dengan adanya indikasi kontrak seumur hidup dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan.
Dalam RUU Cipta Kerja sebelumnya ada poin dalam pasal 61 yang menyebutkan perihal perjanjian kerja.
Di sana dicantumkan perjanjian yang intinya tentang perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai.
Akan tetapi, terdapat tambahan dalam Pasal 61 A yang menyebutkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.
Aturan tersebut dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan.
Dengan aturan ini, pekerja tidak diberi kesempatan untuk memilih atau menentukan sendiri kapasitas waktu yang mau dihabiskan di perusahaan tempatnya bekerja.
Sebab, jangka waktu kontrak berdasarkan keputusan pengusaha dan berpotensi terjadi kontrak seumur hidup.
4. Rentan Pemutusan Hubungan Kerja Sewaktu-waktu
Pasal kontroversial dalam UU Cipta Kerja berikutnya masih sehubungan dengan perjanjian kerja.
Seperti yang telah disebutkan dalam poin tiga di atas, ada kemungkinan pengusaha bisa mengontrak tenaga kerja seumur hidup tapi itu juga berarti pekerja dalam kondisi rentan bisa mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sewaktu-waktu dari perusahaan.
Hal ini dinilai sangat merugikan pekerja.
5. Pasal tentang Pemotongan Waktu Istirahat
UU Cipta Kerja yang telah disahkan juga memuat jam istirahat.
Dalam Pasal 79 Ayat 2 Poin b disebutkan bahwa waktu istirahat mingguan hanya satu hari dalam enam hari kerja atau dalam satu minggu.
Di samping itu, dalam ayat 5, UU Cipta Kerja disebutkan cuti panjang dua bulan per enam tahun dihapus.
Cuti panjang tersebut kemudian diwajibkan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau dalam lembar perjanjian kerja bersama.
Hal ini sangat kontradiktif dengan aturan dari UU Ketenagakerjaan yang telah disahkan lebih dulu.
Dalam UU tersebut disebutkan dan dijelaskan secara detail terkait cuti atau istirahat panjang bagi pekerja dapat dilakukan oleh pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.
6. Pasal tentang Mempermudah Perekrutan TKA
Adanya indikasi pemerintah mempermudah perekrutan Tenaga Kerja Asing (TKA) juga menimbulkan kontroversi.
Hal ini dikhawatirkan dapat menyingkirkan tenaga kerja Indonesia ke zona yang tidak menguntungkan secara ekonomi dan mereka menjadi semakin terpuruk.
Hal itu terlihat secara tersurat dalam Pasal 42 yang intinya mempermudah izin bagi Tenaga Kerja Asing (TKA).
Pasal tersebut akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapatkan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk agar bisa bekerja di Indonesia.
Apabila mengacu kepada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
Akan tetapi, pengesahan UU Cipta Kerja ini mempermudah perizinan TKA.
Dalam UU Cipta Kerja yang baru TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.
(*)