Intisari-Online.com - Bagi orang Indonesia, keberadaan bantal guling di tempat tidur merupakan hal yang biasa.
Bahkan, sebagian orang mungkin akan merasa kurang nyenyak jika tidak tidur menggunakan bantal guling.
Keberadaannya tampak biasa saja bagi orang Indonesia, khususnya orang zaman sekarang, rupanya ada sejumlah mitos yang mengatakan bahwa guling, hanya ada di Indonesia.
Bahkan, ada kisah mengungkapkan bahwa sejumlah orang kebingungan saat pertama kali melihatnya di Jawa.
Mengutip Kompas.com, mengenai keberadaan guling yang tidak ada di negara-negara lain, disinggung dalam buku "Jejak Langkah" (1985) karya Pramoedya Ananta Toer.
Tertulis dalam buku tersebut percakapan mahasiswa STOVIA yang membicarakan kehidupan Eropa mengenai guling.
Disebut bahwa guling tidak ditemukan di negara-negara lain di dunia. Ini sampai orang-orang Belanda dan Eropa lainnya datang ke Indonesia, dan mengenalkan hal yang disebut guling.
Asal-usul keberadaan guling di Indonesia bahkan dikaitkan dengan ketidakmampuan sebagian penjajah untuk memiliki pasangan atau gundik.
Salah satu kisah asal-usul bantal guling di Indonesia mengatakan bahwa awalnya bantal guling dibuat para penjajah Belanda untuk difungsikan mengantikam istri mereka.
Bantal guling itu diciptakan untuk 'menggantikan' pasangan mereka, agar bisa dipeluk pada saat tidur.
Guling diibaratkan sebagai teman atau pendamping tidur.
Pasalnya, saat itu banyak dari orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia tidak membawa serta pasangan atau istrinya.
Untuk memenuhi keinginannya ditemani wanita, sebenarnya banyak dari para laki-laki Belanda memiliki gundik atau menyewa pekerja seks.
Tetapi, ada pula sebagian dari mereka yang pelit atau tidak memiliki uang, sehingga terciptanya bantal guling.
Orang Belanda membuat guling dengan panjang menyerupai manusia dan terletak di atas tempat tidur.
Guling saat itu diberi nama Dutch wife atau istri Belanda.
Pengaruh China ke wilayah Nusantara juga disebut-sebut membuat bantal guling semakin terkenal dan banyak ditiru oleh orang-orang Indonesia.
Melansir History, guling disebut lahir dari kebudayan Indisch abad ke-18 dengan percampuran budaya Eropa, Indonesia, dan China.
Tetapi, saat itu bantal guling biasanya hanya digunakan hanya kalangan atas atau orang kaya.
Keberadaan guling pun cukup menarik perhatian bagi orang-orang yang baru datang ke Indonesia, salah satunya sejarawan dari AS, Abbot.
Ketika sang sejarawan datang dan akan menginap di salah satu rumah Belanda, dia menemukan guling di atas ranjang.
Dalam tulisannya yang berjudul "A Jaunt in Java" (1857), dia mengatakan bahwa dengan adanya guling di bawah kaki atau tangan mencegah kontak terlalu hangat di kasur.
Selain itu kenyamanan dalam iklim tropis sangat cocok dengan adanya guling.
Satu guling yang diisi dengan kapas lebih baik dibandingkan guling yang lainnya.
Baca Juga: Titik Pijat Batuk, Begini Cara Mudah Menghentikan Batuk Cukup Tekan Tiga Titik Ini
Kemudian, seorang Jerman bernama Charnay juga dikisahkan kebingungan ketika menemukan adanya bantal guling di Jawa.
Sehingga seorang pelayan kemudian memberitahu untuk menggunakan guling adalah dengan meletakkannya di antara kaki agar keduanya tidak bersatu, yang membuat tidur bisa lebih nyaman.
Setelah menggunakan bantal guling, bahkan Charnay tinggal lebih lama di Indonesia, dan ketika kembali ke Jerman tetap menggunakan guling.
Meski sejumlah mitos mengatakan bantal guling tidak ada di negara-negara lain, namun rupanya ada benda serupa di negara lain.
Di Asia Timur, terdapat bentuk seperti guling, namun penggunaan dan bahan materialnya berbeda dengan apa yang ada di Indonesia.
Pada zaman Dinasti Goryeo, guling dinamakan jukbuin, chikufujin, atau zhufuren, yang terbuat dari anyaman bambu yang tergulung.
Penggunaannya juga sedikit berbeda. Di Asia Timur, guling hanya digunakan sebagai alas agar kaki tidak melekat pada kasur, sementara orang-orang Indonesia menggunakannya dengan cara dipeluk.
Seperti itulah kisah asal-usul keberadaan bantal guling, termasuk yang menyebutnya sebagai 'Dutch Wife' atau istri Belanda.
Baca Juga: Serupa tapi Tak Sama, Hari-hari Terakhir Soeharto dan Soekarno
(*)