Serupa tapi Tak Sama, Hari-hari Terakhir Soeharto dan Soekarno

Agus Surono
Ade S

Tim Redaksi

Serah terima kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.
Serah terima kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.

Intisari-Online.com - L'histoire se répète. Begitu kata pepatah Prancis. Sejarah akan mengulang kembali dirinya. Peristiwa reformasi 1998 mirip dengan kejadian serupa pada 1966. Soeharto dan Soekarno yang berkuasa begitu lama akhirnya turun dengan “mengenaskan”.

Peristiwa Mei 1998 seperti sejarah berulang dengan tragedi 1965. Memasuki tahun 1960-an, Indonesia dilanda kesulitan ekonomi yang sangat berat. Inflasi mencapai 650 persen. Sudah begitu, barang kebutuhan sehari-hari langka. Korupsi tanpa kendali. Krisis politik memperburuk keadaan yang berujung pada peristiwa kelam 30 September 1965. Selepas itu nyawa berhamburan ke udara.

Kemudian Indonesia bangkit dari peristiwa kelam itu dan merangkak menjadi negara makmur. Selama 30 tahun kemudian pertumbuhan ekonomi Idonesia cukup mengesankan. Kita bisa mencapai swasembada beras. Kehidupan masyarakat relatif tanpa gejolak.

Korupsi, yang kali ini bergandengan tangan dengan kolusi dan nepotisme, kembali menjadi “penyakit” yang menggerogoti pemerintahan Orde Baru. Kritikan dilontarkan, namun tidak digubris pemerintah. Pemerintahan yang sentralistis juga menumbuhkan bibit-bibit kecemburuan sosial.

Indonesia memang tumbuh pesat secara ekonomi, namun tidak merata di seluruh Nusantara. Dalam laporan tahunan 1997, Bank Dunia masih meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat rata-rata 7,8 persen.

“Dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, pada pertengahan 1997, timbullah krisis moneter di mana situasi semakin tidak terkontrol dan berkembang menjadi krisis multidimensional berkepanjangan di berbagai bidang. Efeknya sangat menyengsarakan rakyat,” tulis BJ Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

Menandatangani perjanjian dengan IMF.
Menandatangani perjanjian dengan IMF.

Resep IMF yang salah

Memang, krisis ekonomi yang kemudian tenar dengan isttilah krismon, krisis moneter, tak hanya terjadi di Indonesia. Krisis ini bermula dari turunnya nilai tukar mata uang Thailand baht terhadap dolar AS dari 24,7 menjadi 29,1 baht per dolar AS pada 2 Juli 1997. Puncaknya pada 8 Desember 1997 ketika 56 dari 58 lembaga keuangan utama ditutup.Krisis itu menular ke negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur, seperti Filipina, Malaysia, Korea Selatan, dan Indonesia! Besar kemungkinan karena negara-negara ini memiliki struktur perekonomian yang mirip. Akibat krisis adalah lariya modal asing dari negara-negara tersebut. Dampak lajutannya adalah sistem perbankan di negara-negara tersebut ambruk satu demi satu.

Di Indonesia awal mula krisis juga dipicu oleh merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada minggu kedua Juli 1997 kurs rupiah turun dari Rp2.432 per dolar AS menjadi sekitar Rp3.000 per dolar AS. Sejumlah kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengatasi krisis tidak berbuah hasil yang baik. Tingkat kepercayaan masyarakat semakin menukik, membuat nilai rupiah menjadi liar.

Langkah Presiden Soeharto mengundang Dana Moneter Internasional (IMF) pada 8 Oktober 1997 nyatanya tidak banyak membantu. Ditambah dengan penutupan 16 bank (di antaranya Bank Andromeda, Bank Jakarta, Bank Harapan Sentosa, Sejahtera Bank Umum, dan Bank Pinaesan), pelaku usaha semakin hilang arah.

Menurut Boediono yang waktu itu menjadi Gubernur Bank Indonesia, penutupan 16 bank yang menguasai 3% hingga 4% aset perbankan nasional. Itu atas saran IMF. Namun penutupan 16 bank tersebut dilakukan tanpa ada payung pengaman sehingga menimbulkan dampak psikologis ke masyarakat. Waktu itu belum ada sistem blanket guarantee atau kebijakan penjaminan 100% dana nasabah di perbankan.

Masyarakat pun kemudian menyikapi peristiwa itu dengan berbondong-bondong menarik dananya dari bank. Mereka khawatir bank tempat mereka menyimpan dana juga akan ditutup. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) saat itu, Jahja Setiaatmadja, menambahkan. “Saya ingat, saat itu ketika bank-bank kecil ditutup masyarakat resah dan mereka memindahkan dananya ke bank pemerintah dan bank besar termasuk BCA,” kata Jahja. Bahkan ada yang ke Singapura karena dianggap lebih aman.

“IMF tidak memikirkan dampaknya akan begitu,” kata Boediono yang kemudian menjadi Wakil Presiden RI ke-11.

Nilai rupiah semakin terperosok pada level Rp5.097 per dolar AS. Pada 8 Januari 1998, rupiah melemah parah menjadi Rp9.800 per dolar AS dan mencapai Rp11.050 pada akhir Januari 1998.

Salah satu kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada medio Mei 1998.
Salah satu kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada medio Mei 1998.

Mundur tanpa emosi

Krisis yang sebenarnya terjadi ketika Presiden Soeharto membentuk Kabinet ketujuhnya pada 1998. Sebagai wakil presiden adalah BJ Habibie. Kabinet yang dibentuk pada 14 Maret 1998 itu terdiri atas 34 menteri. Dua menteri menarik perhatian di tengah kritikan tentang KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ya, Presiden Soeharto mengangkat Tutut, putri tertuanya, sebagai Menteri Sosial dan Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan.Bisa jadi dalam pemikiran Soeharto, apa yang dilakukannya itu jauh dari kata nepotisme. Ia percaya, orang seperti Bob Hasan akan bisa menjalankan tugasnya mengingat ia pengusaha selama bertahun-tahun. Lalu Tutut? Dia sudah berpengalaman mengelola yayasan yang dibikin Soeharto.

“Apakah pengangkatan itu sudah dibicarakan dengan lingkaran dalam, tidak mudah untuk mengetahuinya. Apakah orang terdekatnya gagal memberi tahu soal suhu politik saat itu? Suhu politik saat itu bisa diperbandingkan dengan hari-hari akhir Soekarno. Dalam kedua kasus bisa disimpulkan bahwa kekuasaan sudah melampaui batas, dan dikombinasikan dengan usia tua (Soeharto berumur 77 saat itu – Red.), membuat kedua pemimpin itu buta terhadap kenyataan dan tuli dengan berita tak mengenakkan,” tulis Retnowati Abdulgani Knapp dalam buku Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia’s Second President.

Sabtu, 9 Mei 1998, Presiden Soeharto meninggalkan Indonesia menuju Kairo, Mesir untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-15. Seperti biasa, presiden mencoba menggabungkan dua atau tiga kunjungan ke luar negeri menjadi satu perjalanan demi menghemat biaya. Ia berencana mengunjungi Saudi Arabia setelah acara di Mesir selesai. Ikut dalam rombongan, penasihat ekonomi Widjojo Nitisastro, Menteri Luar Negeri Ali Alatas, dan Menteri Sekretaris Negara, Saadilah Mursjid. Dijadwalkan rombongan kembali ke Indonesia pada 16 Mei 1998.

Rabu, 13 Mei 1998, kerusuhan dan demonstrasi yang terjadi selama seminggu belakangan mencapai puncaknya. Sehari sebelumnya empat mahasiswa mati ditembak aparat keamanan di luar kampus Universitas Trisakti, Grogol. Banyak orang yang luka dan hilang. Perubahan cepat terjadi hanya dalam waktu dua hari. Sesuatu yang mirip pernah terjadi pada 1966, namun pada 1988 kontroversi berpusat pada penembakan mahasiswa tersebut. Pada 1966, komunis menjadi biang keladi, tapi pada 1988 biang keladinya adalah para reformis. Ada dugaan bahwa polisi yang menembak dari jalan layang sebenarnya tentara yang menyamar dengan seragam pinjaman.

Peristiwa itu menjadi tragedi nasional yang memilukan. Banyak yang mengutuk kebrutalan tentara itu. Pada 1966, tentara dicap brutal oleh komunis, pada 1988, tentara dicap brutal oleh mahasiswa.

Pada 1966, situasi massa serupa terjadi setelah Presiden Soekarno menjadi sangat kuat. Basis kekuatan Soekarno adalah Nasakom, namun komunis berkhianat. Sementara, basis kekuatan Presiden Soeharto adalah Golkar. Sayangnya, Golkar tumbuh subur di kalangan berada dan tak berakar di kalangan wong cilik. “Dalam kata lain, Presiden Soeharto menjajakan isu-isu, dan Presiden Soekarno menjual nilai-nilai,” tulis Retnowati Abdulgani Knapp.

Aroma khianat itu menguar dari Kosgoro, sebuah ormas yang berafiliasi ke Golkar. (Kosgoro, Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong, berdiri pada tanggal 10 November 1957. Kosgoro merupakan salah satu Kelompok Induk Organisasi, KINO, selain SOKSI dan MKGR, yang melahirkan Sekretariat Bersama Golongan Karya pada 20 Oktober 1964. Kino-kino tersebut pada tahun 1970 mengeluarkan keputusan bersama untuk ikut menjadi peserta pemilihan umum melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya atau Golkar).

Sabtu 16 Mei 1998 Kosgoro mengeluarkan pernyataan politik yang meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar, Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua MPR/DPR Republik Indonesia, yang juga meminta Soeharto untuk mundur. Pernyataan senada juga keluar dari tentara angkatan 1945 yang sebagian dari mereka adalah anggota kelompok Petisi 50.

Selesai KTT G-15 di Kairo Mesir, pada tanggal 15 Mei l998, Presiden Soeharto kembali ke Tanah Air dan mendarat di lapangan Halim Perdanakusuma di Jakarta, menjelang matahari muncul.

Begitu tiba di Jalan Cendana, Presiden Soeharto langsung memanggil menteri yang membidangi keamanan dan kepala Bakin, untuk bertemu di Jalan Cendana lima jam kemudian. Setelah mendengar laporan tentang perkembangan terakhir, khususnya di Jakarta, dia memutuskan untuk menunggu selama dua hari untuk melihat apakah situasi bisa kembali terkendali. Keputusan Presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) disiapkan jika kerusuhan tidak terkendali. Panglima TNI dengan Kasad sebagai wakilnya akan memimpin Kopkamtib. Beberapa alternatif juga disiapkan.

Mahasiswa menduduki gedung parlemen.
Mahasiswa menduduki gedung parlemen.

Sabtu, 16 Mei l998. Agenda Soeharto hari itu dimulai pukul 09.00, ketika ia menerima delegasi guru besar Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Rektor UI Asman Budisantoso di Jalan Cendana Jakarta. Dalam pertemuan itu disampaikan hasil simposium “Kepedulian UI terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia”. Hadir Wakil Presiden B.J. Habibie, para menteri koordinator, dan Sekretaris Negara. Pertemuan selesai pukul 10.45.Pada kesempatan tersebut, Kepala Negara yang mengenakan safari cokelat, tampak ceria, dan tidak terlihat adanya tanda-tanda kelelahan walau ia baru saja tiba di Jakarta dari Kairo,.menegaskan bahwa menjadi presiden bukanlah keinginannya, tetapi sebagai wujud rasa tanggung jawab sebagai mandataris MPR. Ia juga bertanya apakah mahasiswa UI yang akan datang ke DPR dalam beberapa hari ke depan akan diikuti mahasiswa univeritas lainnya.

Selanjutnya Presiden menerima pimpinan DPR untuk mengadakan rapat konsultasi dengan Presiden. Hadir saat itu, Harmoko (ketua DPR), Ismail Hasan Metareum, Fatimah Ahmad, Syarwan Hamid, Abdul Gafur (wakil) dan Sekretaris Jenderal DPR RI, Afif Maroef. Pertemuan dimulai pukul 11.00, diawali dengan tanggapan Presiden Soeharto terhadap pemberitaan pers soal ia siap mundur dari jabatan presiden adalah tidak benar. Bantahan serupa sebelumnya telah dikemukakan oleh Menteri Penerangan Alwi Dahlan.

“Kalau masyarakat tidak lagi memberikan kepercayaan, sebenarnya tidak ada masalah. Kalau tidak percaya ya sudah. Saya tidak akan mempertahankan dengan kekuatan senjata,” ucap Alwi menirukan perkataan Soeharto. Selanjutnya, “Saya barangkali tidak dipercaya oleh rakyat, saya akan menjadi pandito, akan mendekatkan diri dengan Tuhan. Membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik, kepada masyarakat bisa memberikan nasihat, bagi negara tut wuri handayani.”

Dalam pertemuan yang berlangsung selama 1 jam 30 menit tersebut Presiden Soeharto menegaskan tiga hal. Pertama, mempersilakan kelanjutan jalannya reformasi. Kedua, memperbaiki kinerja pemerintahan dengan melakukan reshuffle kabinet. Terakhir, Presiden akan menggunakan wewenang untuk melindungi keamanan rakyat dengan Tap MPR No. 5/1998.

Menanggapi penjelasan Presiden Soeharto tersebut, Harmoko menanyakan tentang aspirasi rakyat yang menghendaki pengunduran diri Presiden. “Ya, itu terserah DPR. Kalau Pimpinan DPR/MPR menghendaki, ya saya mundur, namun memang tidak ringan mengatasi masalah ini,” jawab Soeharto.

Harmoko merespons jawaban itu dengan menyatakan apakah hal tersebut tidak sebaiknya dilakukan oleh Fraksi MPR, sebab Fraksi MPR lah yang mengangkat Presiden. “Tidak perlu, karena anggota DPR yang beranggotakan 500 orang, sudah mencerminkan anggota MPR,” kata Presiden Soeharto.

Malam itu, Presiden Soeharto mengumumkan akan melakukan reshuffle kabinet dalam beberapa hari mendatang. Pengamat menilai langkah itu tidak cukup untuk memenuhi arpirasi rakyat dalam hal reformasi politik.

Minggu, 17 Mei l998. Presiden menerima Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita di rumahnya Jalan Cendana. Ginandjar datang bersama Menhankam/Pangab, Wiranto; Mentamben, Kuntoro Mangkusubroto; Menteri Perhubungan, Giri Suseno; Menperindag, Muhammad Hasan; Gubernur BI, Sjahril Sabirin; Kepala Bulog, Beddu Amang; Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso; dan Pangdam Jaya, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin.Ginandjar memaparkan akibat kerusuhan yang terjadi sebelumnya. Selain kerugian material, kerusuhan juga menyebabkan terganggunya sistem perekonomian, terutama dalam jangka panjang. Kerusuhan tidak hanya mengganggu pusat perdagangan besar, tapi juga kegiatan hulu hingga hilir.

Yang lain ikut menjelaskan efek kerusuhan dan antisipasi ke depannya sesuai kapasitas masing-masing. Sementara berkembang informasi bahwa akibat berbagai kerusuhan yang terjadi, roda perekonomian mengalami kemacetan. Warga negara asing menjadi takut tinggal di Indonesia, terutama Jakarta.

Pada hari itu juga, tulis Retnowati Abdulgani Knapp, Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursjid diminta untuk memperbaiki Keputusan Presiden soal Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. (Keesokan harinya Saadilah dipanggil lagi untuk mengubah Keppres menjadi Inspres.)

Pada hari ini juga, terjadi sebuah peristiwa langka selama pemerintahan Presiden Soeharto. Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya, Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Soeharto dengan alasan masalah keluarga, terutama desakan anak-anaknya.

BJ Habibie diambil sumpahnya sebagai Presiden RI ke-3 menggantikan Soeharto.
BJ Habibie diambil sumpahnya sebagai Presiden RI ke-3 menggantikan Soeharto.

Senin, 18 Mei 1998. Mahasiswa mulau memadati Gedung DPR/MPR sejak pagi. Menyusul pula unsur masyarakat. Jumlah mereka semakin banyak di siang hari. Tuntutan reformasi total termasuk pengunduran diri Presiden Soeharto semakin mengeras disuarakan mahasiswa dari seluruh penjuru Tanah Air.

Pimpinan DPR yang telah berkumpul di dalam gedung lantas mengadakan rapat untuk menyampaikan sebuah Keterangan Pers. Butuh waktu berjam-jam untuk merundingkan konsep redaksional dan mengonsultasikannya dengan pimpinan fraksi. “Keterangan Pers” tersebut akhirnya dibacakan oleh Ketua DPR RI Harmoko. Ia didampingi Wakil Ketua Syarwan Hamid (FABRI), Abdul Gafur (FKP), Ismail Hasan Metareum (FPP) dan Fatimah Achmad (FPDI). Intinya, esok hari, tanggal 19 Mei 1998, pimpinan dewan akan melaksanakan pertemuan dengan pimpinan fraksi-fraksi, dan hasilnya akan disampaikan kepada Presiden Soeharto.

Pukul 19.50, sebagai reaksi atas keterangan pers pimpinan DPR/MPR, pimpinan ABRI, melalui Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto menyampaikan pernyataan pers sebagai tanggapan pernyataan pers pimpinan DPR/MPR. Ia mengadakan jumpa pers di Jakarta pada malam harinya, dihadiri wartawan asing dan dalam negeri.

Hadir antara lain para Kepala Staf ABRI: KSAD Jenderal TNI Subagyo; KSAL, Laksamana TNI Arief Kusharyadi; KSAU, Marsekal TNI Sutria Tubagus; Kapolri, Jenderal Pol. Dibyo Widodo; Pangkostrad, Letjen TNI Prabowo Subianto; dan Danjen Kopassus, Mayjen TNI Muchdi PR. Hadir juga Sekjen Dephankam, Kapuspen, Kadispenad, Kadispenau, Kadispenal, dan Kadispenpolri.

Sepenggal keterangan pers yang dibacakan Wiranto adalah sebagai berikut:

Saudara-saudara sekalian,

Terhadap pernyataan pimpinan DPR RI yang baru saja kita dengarkan bersama, maka ABRI berpendapat dan memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR RI agar Presiden Soeharto mengundurkan diri adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif. Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota dewan melalui Sidang Paripurna DPR. ABRI masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban mendesak pemerintah yang menjadi tangung jawab Presiden adalah melaksanakan reshuffle kabinet, melaksanakan reformasi secara menyeluruh, dan mengatasi krisis. Ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari masa krisis ini.

Selasa, 19 Mei l998. Dari pukul 09.00 hingga pukul 11.32, di Ruang Jepara, Istana Merdeka, Presiden Soeharto mengundang sejumlah tokoh. Pertemuan tersebut disiarkan langsung melalui jaringan televisi. Para tokoh masyarakat yang diundang hadir berasal dari kalangan cendekiawan dan ulama. Mereka adalah: Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PB NU), K.H. Abdurrahman Wahid; budayawan, Emha Ainun Najib; Direktur Yayasan Paramadina, Nurcholish Madjid; Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Ali Yafie; H. Abdul Malik Fajar dan H. Sutrisno Muhdam (Muhammadiyah); K.H. Cholil Baidlowi (DDII); K.H. Ma’ruf Amin dan H. Ahmad Bagja (NU); serta Pembantu Asisten Khusus Mensesneg Yusril Ihza Mahendra. Pertemuan ini juga dihadiri beberapa pejabat ABRI.

“Sekarang, kalau tuntutan pengunduran diri itu saya penuhi secara konstitusional, maka harus saya serahkan kepada Wakil Presiden. Kemudian timbul apakah ini juga merupakan jalan penyelesaian masalah dan tidak akan timbul lagi masalah baru. Nanti jangan-jangan Wakil Presiden juga lantas harus mundur lagi. Kalau begitu terus-menerus dan itu menjadi preseden atau menjadi kejadian buruk dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, dengan sendirinya negara dan bangsa kita akan kacau, seolah-olah tidak mempunyai landasan dalam menjamin kehidupan kita dalam berbangsa dan bermasyarakat,” begitu pernyataan Soeharto usai pertemuan tadi.

(Salah satu pernyataan Presiden Soeharto itu memantik kekecewaan para pejabat dan staf Wakil Presiden. Asisten Wakil Presiden Ahmad Watik Pratiknya mengatakan Pak Harto telah “mengkhianati” B.J. Habibie sekaligus mengabaikan berlakunya Pasal 8 UUD 1945, karena tidak memercayai Wakil Presiden, dan disampaikan secara terbuka kepada masyarakat bahwa Presiden sangsi apakah Wakil Presiden dapat melanjutkan tugas-tugasnya, apakah tidak akan menjadi sasaran demonstrasi, apakah nanti juga harus mengundurkan diri.)

Pukul 20.30, di Jalan Cendana, Presiden Soeharto menerima B.J. Habibie yang juga Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar. Tujuan menghadap Presiden Soeharto adalah membahas berbagai keadaan yang telah berkembang. Sebelumnya, sekitar pukul 18.00, B.J. Habibie telah menerima telepon dari Ketua DPR/MPR Harmoko yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Golkar. Harmoko menjelaskan hasil pertemuan antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi lainnya. Intinya, demi persatuan dan kesatuan bangsa, secara arif dan bijaksana, Presiden Soeharto sebaiknya mengundurkan diri.

(Pada hari itu, rupiah melemah ke angka Rp17.000 terhadap dolar AS. Sekitar 30.000 mahasiswa menyerbu gedung Parlemen dan sebagian naik ke atap. Di sepanjang jalan banyak dijumpai poster-poster bertuliskan “Gantung Soeharto”. Tiga dasawarsa lalu poster serupa bertuliskan, “Gantung Durno”, panggilan akrab Soebandrio pada 1966. Foto-foto yang dipublikasikan memperlihatkan “keakraban”tentara dan mahasiswa. Sepercik fakta bahwa Presiden perlahan-lahan kehilangan cengkeramannya pada kekuasaannya.)

Seperti Presiden Soekarno, Presiden Soeharto tidak ingin menggunakan kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan, yang bisa memicu perang saudara. Seperti Presiden Soekarno, pengabdian Presiden Soeharto kepada negara mencegahnya untuk menghancurkan Indonesia yang bersatu.

Soeharto meninggalkan Istana setelah serah terima kekuasaan.
Soeharto meninggalkan Istana setelah serah terima kekuasaan.

Rabu, 20 Mei 1998. Terjadi demo di Yogyakarta, Surabaya, Purwokerto, Medan, Semarang, Bandung, Bogor, dan Ujung Pandang. Sekitar pukul 19.30 menemui Wakil Presiden BJ Habibie, yang datang dalam kapasitas sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar. Agenda mereka adalah menyusun nama-nama yang akan masuk dalam Kabinet Reformasi yang akan diumumkan oleh Presiden Soeharto di Istana Merdeka keesokan harinya, 21 Mei 1998.

Pada hari itu juga, Presiden Soeharto menerima surat tertulis yang isinya penolakan 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginandjar untuk dilibatkan dalam Kabinet Reformasi. Selain Ginandjar ada Akbar Tandjung yang merupakan loyalis Soeharto.Pukul 22.15, kepada Saadillah Mursjid Presiden Soeharto berkata, “Kita telah melakukan semua yang kita bisa lakukan untuk menyelamatkan rakyat dan bangsa. Namun, Tuhan berkehendak lain. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mengundurkan diri sesuai dengan pasal 8 UUD 1945 kita.”

Kamis, 21 Mei 1998. Rencana pelantikan Kabinet Reformasi tidak terwujud. Sebagai gantinya, pukul 10.00 Presiden Soeharto mundur dari jabatan Presiden dan BJ Habibie menjadi penggantinya. Presiden Soeharto hanya menjabat tangan BJ Habibie, tidak merangkulnya seperti yang biasa dilakukannya.

(Dalam bukunya Detik-Detik yang Menentukan, Habibie menulis bahwa malam sebelumnya ketika BJ Habibie ingin menelepon Soeharto, ia diterima oleh Mensesneg Saadilah Mursjid yang meneruskan perkataan Soeharto yang ia dengar sebelumnya.)

Era Presiden Soeharto pun usai. Pasti menyakitkan baginya ketika melihat bahwa beberapa orang yang memohon padanya untuk tetap berkuasa telah meninggalkannya. Pasti menyakitkan baginya ketika mengingat orang-orang yang biasa bersujud di kakinya tiba-tiba membuat pernyataan di depan publik tentang kesalahannya. Namun, sebagai orang Jawa, Soeharto tidak menunjukkan emosinya di depan umum.

Hubungan “Bapak-Anak” Itu Akhirnya Retak

Sudah jamak diketahui bahwa ada “jurang tak terseberangi” dalam hubungan antara Soeharto dan Habibie selepas penyerahan kekuasan pada 21 Mei 1998. Padahal, sebelum itu Habibie merupakan “anak emas” Presiden Soeharto.

Dalam biografinya, Soeharto mengatakan bahwa ia memberi sebuah catatan di ulang tahun Habibie ke-50. “Wong sing eling, percaya mituhu marang kang murbeng dumadi, iku dadi oboring urip kang becik, sejatining becik” dalam kata lain, Soeharto ingin berkata, “Kita harus ingat dan percaya pada Yang Mahakuasa; jangan pernah menggunakan ilmu tanpa kebijaksanaan.”

Banyak orang sekitar Soeharto khawatir BJ Habibie akan mempengaruhinya karena dia cerdas. Namun, banyak yang tidak tahu bahwa BJ Habibie-lah yang selalu meminta bimbingan dari Soeharto. BJ Habibie masih berjiwa Jawa. Ia bisa berjam-jam mendengarkan Soeharto ngomong setiap kali berkunjung ke Jalan Cendana. (Anak-anak Presiden Soeharto membenarkan hal itu. Padahal untuk menteri lain hanya 15 menit.) Habibie ingin tahu apa yang sebenarnya yang ada dalam pikiran presiden. Presiden Soeharto yakin bahwa setelah BJ Habibie mencerna dan memahami filosofinya, ia akan menggunakannya dalam kapasitasnya sebagai insinyur terlatih.

Presiden Soeharto juga bangga dengan kesediaan BJ Habibie untuk mengorbankan kepentingan pribadinya. Ketika Presiden meminta BJ Habibie kembali dari Jerman pada tahun 1974 dan bergabung dengan Pertamina, gaji BJ Habibie di Jerman adalah AS$10.000 per bulan. Setara dengan Rp25 juta saat itu. Sedangkan di Pertamina ia hanya menerima Rp250.000.

Presiden Soeharto pernah menulis bahwa BJ Habibie selalu menganggapnya sebagai ayahnya sendiri. Namun, keadaan berubah total setelah BJ Habibie menjadi presiden. Di bawah kekuasaan BJ Habibie, Soeharto diseret ke pengadilan. Di bawah pemerintahan BJ Habibie, Indonesia menyerahkan Timor Timur. Pada masa pemerintahan BJ Habibie, sumbangan untuk yayasan amalnya dihentikan.

Soeharto merasa dikhianati dan tidak pernah memaafkan BJ Habibie; usaha untuk bertemu selalu ditolak.

Baca Juga: Ini Salah Satu Ciri Pemerintahan Indonesia pada Masa Reformasi

Artikel Terkait