Intisari-Online.com - L'histoire se répète. Begitu kata pepatah Prancis. Sejarah akan mengulang kembali dirinya. Peristiwa reformasi 1998 mirip dengan kejadian serupa pada 1966. Soeharto dan Soekarno yang berkuasa begitu lama akhirnya turun dengan “mengenaskan”.
Peristiwa Mei 1998 seperti sejarah berulang dengan tragedi 1965. Memasuki tahun 1960-an, Indonesia dilanda kesulitan ekonomi yang sangat berat. Inflasi mencapai 650 persen. Sudah begitu, barang kebutuhan sehari-hari langka. Korupsi tanpa kendali. Krisis politik memperburuk keadaan yang berujung pada peristiwa kelam 30 September 1965. Selepas itu nyawa berhamburan ke udara.
Kemudian Indonesia bangkit dari peristiwa kelam itu dan merangkak menjadi negara makmur. Selama 30 tahun kemudian pertumbuhan ekonomi Idonesia cukup mengesankan. Kita bisa mencapai swasembada beras. Kehidupan masyarakat relatif tanpa gejolak.
Korupsi, yang kali ini bergandengan tangan dengan kolusi dan nepotisme, kembali menjadi “penyakit” yang menggerogoti pemerintahan Orde Baru. Kritikan dilontarkan, namun tidak digubris pemerintah. Pemerintahan yang sentralistis juga menumbuhkan bibit-bibit kecemburuan sosial.
Indonesia memang tumbuh pesat secara ekonomi, namun tidak merata di seluruh Nusantara. Dalam laporan tahunan 1997, Bank Dunia masih meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat rata-rata 7,8 persen.
“Dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, pada pertengahan 1997, timbullah krisis moneter di mana situasi semakin tidak terkontrol dan berkembang menjadi krisis multidimensional berkepanjangan di berbagai bidang. Efeknya sangat menyengsarakan rakyat,” tulis BJ Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
Resep IMF yang salah
Memang, krisis ekonomi yang kemudian tenar dengan isttilah krismon, krisis moneter, tak hanya terjadi di Indonesia. Krisis ini bermula dari turunnya nilai tukar mata uang Thailand baht terhadap dolar AS dari 24,7 menjadi 29,1 baht per dolar AS pada 2 Juli 1997. Puncaknya pada 8 Desember 1997 ketika 56 dari 58 lembaga keuangan utama ditutup.
Krisis itu menular ke negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur, seperti Filipina, Malaysia, Korea Selatan, dan Indonesia! Besar kemungkinan karena negara-negara ini memiliki struktur perekonomian yang mirip. Akibat krisis adalah lariya modal asing dari negara-negara tersebut. Dampak lajutannya adalah sistem perbankan di negara-negara tersebut ambruk satu demi satu.
Di Indonesia awal mula krisis juga dipicu oleh merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada minggu kedua Juli 1997 kurs rupiah turun dari Rp2.432 per dolar AS menjadi sekitar Rp3.000 per dolar AS. Sejumlah kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengatasi krisis tidak berbuah hasil yang baik. Tingkat kepercayaan masyarakat semakin menukik, membuat nilai rupiah menjadi liar.
Langkah Presiden Soeharto mengundang Dana Moneter Internasional (IMF) pada 8 Oktober 1997 nyatanya tidak banyak membantu. Ditambah dengan penutupan 16 bank (di antaranya Bank Andromeda, Bank Jakarta, Bank Harapan Sentosa, Sejahtera Bank Umum, dan Bank Pinaesan), pelaku usaha semakin hilang arah.
Menurut Boediono yang waktu itu menjadi Gubernur Bank Indonesia, penutupan 16 bank yang menguasai 3% hingga 4% aset perbankan nasional. Itu atas saran IMF. Namun penutupan 16 bank tersebut dilakukan tanpa ada payung pengaman sehingga menimbulkan dampak psikologis ke masyarakat. Waktu itu belum ada sistem blanket guarantee atau kebijakan penjaminan 100% dana nasabah di perbankan.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR