Intisari-Online.com - Hari ini 23 tahun lalu terjadi sebuah peristiwa yang kemudian dikenal sebagai 'Tragedi Trisakti'.
Tragedi Trisaksi terjadi paa 12 Mei 1998 ketika krisis tengah mengguncang Indonesia.
Masyarakat tidak puas dengan kepemimpinan Presiden Soeharto yang kala itu telah memerintah Indonesia selama 32 tahun.
Mahasiswa turun ke jalan melakukan upaya protes dan menuntut perubahan terhadap kondisi di Indonesia.
Namun, sebuah tragedi berdarah menimpa mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, pada hari itu.
Empat orang mahasiswa Trisakti menjadi korban tewas setelah letusan senjata api terdengar.
Mereka adalah Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sementara yang lain mengalami luka-luka.
Apa yang terjadi di hari itu sampai tewasnya empat mahasiswa Trisakti tersebut?
Melansir Kompas.com, hari itu, tanggal 12 Mei 1998, mahasiswa mulai bergerak melakukan aksi ke luar kampus setelah sebelumnya aksi digelar di dalam kampus (1-11 Mei) selama Sidang Umum MPR.
Menurut dokumentasi Kompas, di sela sidang, pada 5 Maret 1998, sekitar 20 mahasiswa Universitas Indonesia bahkan pernah bertemu Fraksi ABRI untuk menyuarakan penolakan laporan pertanggungjawaban Soeharto.
Meski demikian, tuntutan itu sebatas didengarkan dan tidak dipenuhi.
Maka, setelah Soeharto terpilih kembali, aksi mahasiswa mulai dilakukan di luar kampus.
Aksi di kampus Trisakti pada 12 Mei 1998 tercatat sebagai salah satu demonstrasi mahasiswa terbesar yang dilakukan di luar kampus.
Saat itu, sngan posisi kampus yang strategis, yaitu dekat dengan kompleks gedung DPR/MPR, menjadikan Universitas Trisakti menjadi titik berkumpul mahasiswa dari berbagai kampus.
Menurut catatan Kompas, aksi itu dimulai sekitar pukul 11.00 WIB, dengan agendanya termasuk mendengarkan orasi Jenderal Besar AH Nasution, meski kemudian tidak jadi datang.
Sehingga orasi pun dilakukan para guru besar, dosen, dan mahasiswa.
Kemudian sekitar pukul 13.00 WIB, peserta aksi mulai keluar kampus dan tumpah ruah di Jalan S Parman.
Mereka hendak long march menuju gedung MPR/DPR di Senayan. Barisan depan terdiri dari para mahasiswi yang membagi-bagikan mawar kepada aparat kepolisian yang mengadang ribuan peserta demonstrasi.
Selanjutnya negosiasi pun dilakukan di antara pimpinan mahasiswa, alumni, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Seldi Andojo, dan Komandan Kodim Jakarta Barat Letkol (Inf) A Amril.
Negosiasi itu menyepakati bahwa aksi damai hanya bisa dilakukan hingga depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat, sekitar 300 meter dari pintu utama Trisakti.
Berdasarkan kesepakatan itu, mahasiswa melanjutkan aksi dengan menggelar mimbar bebas menuntut agenda reformasi dan Sidang Istimewa MPR.
Aksi berjalan hingga pukul 17.00 WIB, tanpa ketegangan yang berarti. Sementara para peserta mulai masuk kembali ke dalam kampus.
Namun, saat sebagian besar peserta aksi telah memasuki kampus, suara ledakan senjata dari aparat keamanan terdengar, membuat massa aksi panik dan lari berhamburan.
Selain berasal dari aparat keamanan yang berada di hadapan peserta demonstrasi, penembakan juga dilakukan dari atas fly over Grogol dan jembatan penyeberangan.
Hal itu terlihat dalam berbagai dokumentasi televisi.
Sementara Mahasiswa yang menjadi korban penembakan kemudian dilarikan ke sejumlah rumah sakit terdekat, terutama RS Sumber Waras.
Dalam jumpa pers yang dilakukan, pihak kampus menyatakan ada enam korban tewas, yang beberapa hari kemudian dipastikan ada empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban.
Dikutip dari buku Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap (2016) yang ditulis Rosidi Rizkiandi, ahli kedokteran forensik dr Abdul Mun'im Idries mengatakan bahwa hasil visum memang memperlihatkan serpihan peluru kaliber 5,56 mm di tubuh Hery Hertanto.
Di mana peluru itu biasanya digunakan senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1. Saat itu, senjata Styer digunakan oleh satuan Brimob atau Kopassus.
Selain itu, Hasil otopsi Tim Pencari Fakta ABRI juga mengungkap hasil yang sama. Hal senada juga didapat dari uji balistik di Forensic Technology Inc di Montreal, Kanada.
Namun, Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah anak buahnya menggunakan peluru tajam.
Siapa penembak dari 'Tragedi Trisaksi' menjadi misteri, karena prsidangan terhadap enam terdakwa beberapa tahun setelah tragedi itu tidak dapat mengungkap siapa penembak mahasiswa yang menggunakan peluru tajam dan motifnya.
Kini, empat mahasiswa yang tewas dalam peristiwa memilukan tersebut dikenang sebagai pahlawan reformasi.
(*)