Hall menambahkan, “Alexander kemungkinan mendapat varian GBS yang menyebabkan kelumpuhan tanpa menyebabkan kebingungan atau ketidaksadaran.”
Spekulasi tentang apa yang sebenarnya membunuh Alexander sudah lama diperdebatkan.
Hall berpendapat bahwa peningkatan kelumpuhan yang diderita Alexander, serta fakta bahwa tubuhnya membutuhkan lebih sedikit oksigen saat lumpuh, berarti pernapasannya kurang terlihat.
Di zaman kuno, dokter mengandalkan ada atau tidak adanya napas, bukan denyut nadi, untuk menentukan apakah pasien masih hidup atau mati.
Karena alasan itu, Hall percaya Alexander mungkin telah dinyatakan meninggal sebelum dia benar-benar meninggal.
Dalam sebuah pernyataan dari Universitas Otago, Hall mengatakan, "Saya ingin merangsang debat dan diskusi baru. Penelitian ini mungkin akan mengubah catatan sejarah yang menyatakan kematian Alexander."
Kematian Alexander Agung mungkin kasus paling terkenal dari pseudothanatos atau diagnosis kematian yang salah, pernah tercatat.
Lebih dari 2.300 tahun telah berlalu, dan orang-orang masih terpesona dengan penguasa besar Makedonia. Hall percaya ini karena Alexander Agung “adalah orang yang kompleks secara psikologis dan dipandang sebagai pahlawan.”
Hall menambahkan, “Misteri abadi penyebab kematiannya terus menarik minat publik dan skolastik.”
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR