Faisal juga membawa seorang guru Damaskus bernama Safwat al-Awa untuk mengajari mereka aritmatika, matematika, dan sejarah Islam.
Faisal kemudian menghabiskan tahun-tahun hidupnya ikut dalam Pemberontakan Besar Arab (1916-1918), jauh dari anak-anaknya, karena mereka tinggal di Mekah bersama para wanita keluarga itu.
Pada akhir 1918, Faisal membawa merekake Damaskus setelah dibebaskan dari kekuasan Ottoman dan dia berjanji untuk tetap setia sebagai penguasa Arab atas Suriah.
Putri Azza masih berusia tiga belas tahun ketika tiba di Damaskus bersama dengan para wanita keluarga, dipaksa pergi setelah ayahnya digulingkan pada 24 Juli 1920.
Namun, pada tahun 1924, Azza dibawa ke Mekah lagi, sebelum menetap bersama ibunya di Baghdad, tiga tahun setelah Faisal dinobatkan sebagai Raja Irak.
Dia tinggal di bawah asuhan ayahnya sampai kematiannya pada tahun 1933 di sebuah rumah sakit Swiss.
Azza bukanlah putri kesayangan Raja Faisal, karena dia terbiasa mencurahkan segala kasih sayangnya kepada adiknya, Putri Rafi’a, yang lumpuh total setelah saat dia masih bayi.
Perlakuan istimea ini mungkin yang menjadi salah satu alasan utama kebencian Azza pada keluarganya.
Azza melarikan diri dan meninggalkan surat yang ditulis dalam bahasa Inggris, menjelaskan bahwa dia memutuskan untuk berpisah dari keluarga kerajaan untuk menikah dengan orang yang dia cintai.
Dia menganggap bahwa keluarganya tidak akan pernah menerima seorang suami Kristen yang bekerja sebagai pelayan.
Setelah kematian ayahnya, saudara laki-lakinya Raja Ghazi I naik takhta Irak.
Ghazi biasa membawa Azza bersamanya pada liburan musim panas ke Yunani, dan bertemu dengan seorang pelayan Italia bernama Anastas (meski ada sumber yang mengatakan dia adalah orang Yunani).
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR